BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Islam telah datang dengan membawa sinar kebenaran
bagi manusia secara keseluruhan dan memadamkan api kebodohan ditengah-tengah
mereka, sehingga mereka mendapatkan kemenangan setelah terperangkap di dalam
kekalahan. Mereka menjadi kuat setelah mengalami kelemahan, dan menjadi sehat
setelah mengalami sakit selama berabad-abad.[1]
Syariat menurut wahyu Allah yang murni, yang tetap
tidak bisa berubah dan tidak dapat diubah, dengan kata lain syari’at bisa
dikatakan sebagai Al- Thariqho Al-mustaqimah, yaitu ketentuan-ketentuan Allah
yang sudah digariskan pada setiap manusia supaya mereka mengamalkannya sesuai
yang sudah ditentukan, baik menyangkut masalah dunia maupun akhirat, baik yang
bersifat ittiqodiyah dan amaliyah ataupun persoalan akhlak. Syari’at itu
bersifat tsabit (tetap) dan tidak boleh berubah sepanjang masa.
Syariah secara harfiah adalah jalan sumber ke mata
air, yakni jalan kurus yang diikuti oleh setiap umat islam. Syariat memuat
ketetapan-ketetapan Allah, dan ketentuan Rasulullah SAW, baik berupa larangan
mauun perintah, yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia.
1.2 Rumusan Msalah
1.
Bagaimana himah thaharah ?
2.
Bagaimana himah ibadah ?
3.
Bagaimana himah mawaris ?
4
Bagaimana himah munakahat ?
5.
Bagaimana himah jinayah ?
6.
Bagaimana himah muamalat ?
1.3 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui hikmah- hikmah syari’ah islam
menenai thaharah, ibadah, mawaris, munakahat, jinayah dan muama.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Hikmah Thaharah
A. Pengertian Thaharah
Thaharah secara bahasa adalah bersih
(nadlafah), suci (nazahah), terbebas (khulus) dari kotoran (danas). Menurut
istilah ahli fiqh, thaharah adalah menghilangkan sesuatu yang menjadi kendala
bagi sahnya ibadah tertentu. Kendala-kendala tersebut ada yang sifat atau
bendanya nyata sehingga dapat diketahui melalui indra, seperti benda-benda
najis. Tetapi ada juga yang sifat atau bendanya tidak nyata (abstrak), seperti
hadats.
Benda-benda najis adalah
kotoran-kotoran yang wajib disucikan oleh setiap muslim, jika benda-benda itu
terkena badannya, pakaiannya atau tempatnya. Jika tidak, bukan saja badannya,
pakaian dan lingkungannya saja yang tidak suci, melainkan juga shalat yang
didirikannya tidak sah.
Hadats adalah keadaan tidak suci.
Dengan kata lain orang- orang yang tidak suci dikatakan berhadats yang
menyebabkannya tidak boleh shalat, thawaf dan yang semacamnya.Seorang muslim
yang batal wudhunya sudah dalam kondisi berhadats. Jika ia segera berwudhu maka
ia kembali suci dan ia boleh shalat, thawaf dan amal lainnya yang mensyaratkan
wudhu.
Adapun dalil-dalil mengenai thaharah
adalah sebagai berikut :
1.(Al-ma’idah : 6)
وإن كنتم جنبافاطهوا
“…dan jika kamu (dalam keadaan) junub maka mandilah……”
2. (Q.S. 2,Al-Baqarah : 222)
إن الله يحب التوابين ويحب المتطهرين
“sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan
menyukai orang-orang yang menyucikan (membersihkan) diri.
3. Hadits Nabi Muhammad :
مفتاح الصلاة الطهور
“Alat pembuka (pintu) shalat adalah bersuci.”
4. Sabda Rasulallah :
لاصلاة إلابطهور
“Tidak diterima shalat seseorang kecuali dengan kesuciaan.”
5. Sabda Rasulallah :
تحت كل شعرة جنابة
ألاقبلواالشعرواتقواالبشرة
“Dibawah helai rambut terdapat jenabah/air mani, maka
siramlah seluruh rambut dan jagalah (bersihkanlah) kulit.”
B. Pembagian Thaharah dan Hukumnya
Ada dua macam thaharah yaitu :
1. Thaharah (bersuci) dari najis
2. Thaharah (bersuci) dari hadats
Cara bersuci dari najis adalah
dengan membersihkannya dengan air suci secukupnya sampai hilang dzat
(bendanya), warna, rasa, dan baunya, baik dari badan dari kain maupun tempat,
terutama kain dan tempat yang akan dipergunakn untuk ibadah .Air yang dapat
digunakan bersuci adalah air yang suci pada dzatnya dan dapat menyucikan yang
lainnya. Ia adalah air yang masih dalam keadaan asli.
Baik turun dari langit seperti
hujan, salju, embun maupun mengalir diatas tanah seperti air sungai, sumur,
laut, atau air hasil penyulingan. Inilah air yang sah dijadikan bahan bersuci
dari hadas dan najis.
Hadats terbagi menjadi dua :
1. Hadits kecil, dan
2. Hadats besar
Hadats kecil terjadi karena tidak
berwudhu atau wudhu batal. Maka cara menghilangkannya adalah dengan berwudhu.
Hadats besar terjadi karena terjadi, antara lain : karena keluar mani atau
bersetubuh dengan istri. Maka cara menyucikannya adalah dengan mandi (meratakan
air keseluruh tubuh) atau, bagi mereka yang karena satu dan lain hal tidak
sanggup menggunakan air, dengan cara tayamum.
Thaharah wajib hukumnya berdasarkan
firman Allah dan hadits Nabi. Diantaranya : Q.S. 2,Al-Baqarah : 222, Al-ma’idah
: 6, Al-Muddatstsir : 4, Dan hadits Nabi “Tidak diterima shalat seseorang
kecuali dengan kesuciaan.”
Dari penjelasan ayat-ayat dan hadits
tersebut memberi penjelasan bahwa thaharah wajib hukumnya, tidak saja karena
orang muslim akan menjalankan shalat melainkan juga dalam semua keadaan,
terutama bersuci dari najis dan hadats besar.
C. Tata Cara Thaharah
1. Thaharah dari Najis
Ada dua macam najis dengan kaitannya
dengan cara membersihkannya, yaitu :
1. Najis yang dapat dilihat
2. Najis yang tidak dapat dilihat
Najis yang dapat dilihat adalah,
misalnya, air besar (termasuk tahi hewan) dan darah. Cara membersihkan najis
macam ini, apabila terkena badan, pakaian dan tempat adalah dengan menggosoknya
(atau menguceknya dengan air), kemudian disiram dengan air sekali atau beberapa
kali sampai bersih yakni, sampai hilang wujud, warna dan baunya. Najis yang
sukar dihilangkan warnanya, misalnya yang kering pada kain, cukuplah dengan
menghilangkan wujud dan baunya saja.
Najis yang tidak dapat dilihat
misalnya, air kecil (termasuk kencing hewan), dibersihkan dengan cara
menyiramnya sekali atau beberapa kali dengan air sampai yakin sudah bersih.
Jika najis tersebut mengenai badan atau pakaian, tetapi tidak jelas lagi bagian
yang terkena itu, maka kain itu harus dibersihkan keseluruhan. Berikut ini
dijelaskan cara membersihkan benda-benda tertentu yang terkena najis :
1. Cara membersihkan benda cair yang terkena najis
Cara membersihkannya tergantung kepada keadaan benda cair
itu, jika keadaan benda cair itu kental, maka cara membersihkannya dilakukan
dengan membuang bagian yang terkena najis itu. Sebaliknya, jika keadaannya
cair, maka keseluruhannya terhitung najis dan karenanya tidak boleh
dimanfaatkan.
2. Cara membersihkan najis dari tanah
Cara
membersihkan tanah yang terkena najis adalah dengan menyiramkan air secukupnya
keatasnya. Ketentuaan ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW. :
“Seorang
arab badui berdiri dan kencing didalam masjid. Orang-Orang lantas bangkit
hendak memukulnya. Nabi SAW segera berkata : “Biarkanlah Dia! Dan tuangkanlah
seember atau satu timba air kencingnya itu. Sesungguhnya anda sekalian diutus
untuk mempermudah, bukan mempersulit.”
3. Cara membersihkan najis dari alat-alat keras
Yang
dimaksud alat-alat keras adalah misalnya pisau, golok, pedang, tongkat,
senapan, dan sebagainya. Jika alat-alat itu terkena najis, maka cara
membersihkannya adalah dengan menggosokkan najis itu sampai hilang, termasuk
warna dan baunya. Para sahabat melakukan cara penyucian itu dengan cara begitu,
lalu mereka memakainya di dalam shalat.
4. Cara membersihkan najis dari alas kaki
Yang
dimaksud alas kaki adalah seperti sandal (kulit, plastik atau kayu), sepatu dan
sebagainya. Cara membersihkannya, jika terkena najis adalah dengan
menggosokkannya ke tanah sampai najis tersebut hilang.
5. Cara membersihkan kecing bayi laki-laki
Kencing
bayi laki-laki yang belum makan selain air susu ibu jika terkena kain atau
lainnya cukup dengan memercikkan air kepada yang terkena air itu.
1. Cara membersihkan najis anjing dan babi
Kain atau lainnya yang terkena najis anjing demikian juga
babi haruslah disamak yaitu, membasuhnya tujuh kali. Dengan tanah satu kali,
yaitu diawalnya dibasuh dengan air yang dicampur tanah.
2. Wudhu
Wudhu menjadi sah, jika dilakukan
dengan memenuhi rukun-rukunnya wudhu, yaitu :
a.
Niat : yang dimaksud dengan niat adalah qashad (maksud, kehendak, kesengajaan)
hati untuk melaksanakan suatu perbuatan yang bergandengan dengan awal perbuatan
itu. Semua perbuatan ibadah terhitung tidak sah kecuali jika diawali dengan
niat. Niat didalam wudhu ini ada sebagian ulama’ yang memandangnya sebagai
syarat, bukan rukun. Bahkan imam abu hanifah dan sufyan sawry berpendapat bahwa
niat tidak diisyaratkan pada wudhu sebab mereka memandang wudhu itu bukan
termasuk mahdah.
b.
Membasuh muka : muka adalah daerah wajah yang berada antara telinga kanan dan
telinga kiri, dan dari tepi dahi sebelah atas., tempat tumbuh rambut sampai
tepi bawah dagu, tempat tumbuh janggut.
c. Membasuh tangan sampai dengan kedua sikut
d. Mengusap kepala
e. Membasuh kaki sampai dengan mata kaki
f. Tertib : maksudnya adalah
melaksanakannya, baik membasuh maupun mengusap anggota wudhu, secara berurutan
sesuai dengan bunyi sebuah hadits “Mulailah dengan yang dimulai oleh Allah.”
Sarat sah wudhu ada lima perkara, yaitu : 1. islam, 2. tamyiz (bisa membedakan,
sudah berakal), 3. airnya suci, 4. tidak ada halangan batin (seperti akal tidak
sehat), 5. tidak ada halangan dari agama ( seperti haid, nifas, dll.).
3.
Mandi
Setiap
mandi wajib maupun sunnah akan menjadi sah apabila dipenuhi rukun-rukunnya.
Jika tidak maka mandi yang dilakukan oleh seseorang akan terhitung mandi biasa
atau mandi kebiasaan yang hanya akan mendapat kebersihan badan. Rukun-rukun
mandi tersebut adalah :
a.
Niat : tanpa niat mandi tidak akan sah menjadi mandi wajib atau mandi sunnat.
Memang niatlah yang membedakan antara mandi yang ditetapkan agama dengan
mandi-mandi lainnya. Niat pula yang membedakan antara mandi wajib dengan mandi
sunnah.Orang yang akan mandi wajib harus berniat menghilangkan hadas besar dan
yang melakukan mandi sunnah harus berniat melakukan mandi sunnah.
b.
Membasuh seluruh anggota badan : Setiap orang yang akan mandi menghilangkan
hadas wajib meratakan air kesekujur tubuhnya . yang dikatakan (hakikat) mandi
adalah membasuh dengan air seluruh anggota badan. Tata cara mandi yang sempurna
adalah berniat menghilangkan hadas atau membolehkan ibadah yang mensaratkam
mandi, dan membaca basmallah. Lalu membasuh tangan tiga kali, membasuh apa yang
dikotori junub, berwudhu secara sempurna, membasuh kepala tiga kali sampai
membasahi akar rambut, lalu membasuh seluruh tubuh mulai dari bagian-bagian
kanan. Wanita tidak perlu menggerai rambutnya ketika mandi karena junub. Tapi
dianjurkan menggeraikan ketika mandi karena haid atau nifas. Dalilnya adalah :“gerailah
rambutmu lalu mandilah.” Dari Ummu salamah, dia berkata “Ya Nabi Allah aku
wanita berambut lebat, haruskan aku menggerainya untuk mandi junub?” beliau
bersabda : “tidak! Cukup bagimu mencidukkan air dengan telapak tanganmu ke
kepala dengan tiga kali, lalu megguyur seluruh tubuh dengan air. Dengan begitu
engkau telah suci.” (H.R. jama’ah kecuali Al-Bukhari)
4. Tayamum
Tayamum
wajib didahului dengan niat, yaitu niat dengan membolehkan shalat.
Urutan
pelaksanaannya adalah :
1.
Niat untuk membolehkan shalat
2.
Membaca basmallah
3.
Memukulkan (menempelkan) kedua telapak tangan ketanah, kemudian mengangkatnya
dan meniupnya atau menepukkan kedua telapak tangan (agar tanah tidak terlalu
banyak), lalu mengusapkannya kewajah dan kedua tangan sampai dengan pergelangan.
Ada ulama’ yang berpendapat bahwa cara tayamum itu adalah dengan memukulkan
kedua telapak tangan ketanah sebanyak dua kali. Sekali untuk mengusap wajah dan
sekali untuk mengusap tangan sampai siku. Menurut mereka, mengusap tangan
sampai siku, dikiaskan dengan wudhu. Sayyid sabiq menjelaskan, dalam Fiqqus
Sunnah, bahwa cara semacam itu tidak mempunyai keterangan yang jelas seperti
jelasnya keterangan mengenai cara yang tersebut pertama.
D. Hikmah Thaharah
Dalam syari’at Islam bersuci mempunyai beberapa manfa’at,
diantara lainnya sebagai berikut :
1. Kita semua tahu bahwa benda-benda najis baik didalam
maupun luar tubuh manusia adalah benda-benda kotor yang banyak mengandung bibit
penyakit dan dapat membawa mudharat bagi kesehatan tubuh manusia. Karena itu,
bersuci berarti telah melakukan usaha untuk menjaga kesehatan.
2. kebersihan dan kesehatan jasmani yang dicapai melalui
bersuci akan menambah kepercayaan diri sendiri. Karena itu, dalam kehidupan
sehari-hari, manusia selalu mengutamakan kesehatan dan kebersihan.
3. Syari’at bersuci berisi ketentuan-ketentuan dan adab,
jika dilaksanakan dengan penuh kesadaran kedisiplinan akan menumbuhkan
kebiasaan yang baik. Ketentuan dan adab dalam Islam berbentuk ajaran yang
mempertinggi harkat dan martabat manusia.
4. Sebagai hamba Allah SWT. yang harus mengabdi kepada-Nya
dalam bentuk ibadah maka bersuci merupakan salah satu syarat sahnya sehingga
menunjukkan pembuktian awal ketundukannya kepada Allah SWT.
2.2 Hikmah Ibadah
A. Pengertian Ibadah
Menurut bahasa, kata ibadah berarti patuh (al-tha’ah), dan tunduk (al-khudlu). Ubudiyah artinya tunduk dan merendahkan diri. Menurut al-Azhari, kata
ibadah tidak dapat disebutkan kecuali untuk kepatuhan kepada Allah.
Ini sesuai dengan pengertian yang di
kemukakan oleh al-syawkani, bahwa ibadah itu adalah kepatuhan dan perendahan
diri yang paling maksimal.
Secara etimologis diambil dari kata
‘ abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa
‘aabidun. ‘Abid, berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang
tidak memiliki apa-apa, harta dirinya sendiri milik tuannya, sehingga karenanya
seluruh aktifitas hidup hamba hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan
menghindarkan murkanya.
Manusia adalah hamba Allah “Ibaadullaah” jiwa raga hanya milik
Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya ketentuan Allah, dan
diciptakan hanya untuk ibadah atau menghamba kepada-Nya. Menurut istilah
syara’ pengertian ibadah dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut, menurut
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-ubudiyah, memberikan
penjelasan yang cukup luas tentang pengertian ibadah. Pada dasarnya ibadah
berarti merendahkan diri (al-dzull).
Akan tetapi, ibadah yang
diperintahkan agama bukan sekedar taat atau perendahan diri kepada Allah.
Ibadah itu adalah gabungan dari pengertian ghayah al-zull dan ghayah al-mahabbah. Patuh kepada
seseorang tetapi tidak mencintainya, atau cinta tanpa kepatuhan itu bukan
ibadah. Jadi, cinta atau patuh saja belum cukup disebut ibadah. Seseorang belum
dapat dikatakan beribadah kepada Allah kecuali apabila ia mencintai Allah,
lebih dari cintanya kepada apapun dan memuliakan-Nya lebih dari segala lainnya.
Menurut uraiannya, Ibn Taimiyah
sangat menekankan bahwa cinta merupakan unsur yang sangat penting dan tidak
dapat dipisahkan dari pengertian ibadah. Menurutnya, agama yang benar adalah
mewujudkan ubudiyah kepada Allah dari segala seginya, yakni mewujudkan cinta
kepada-Nya. Semakin benar ubudiyah seseorang, semakin besarlah cintanya kepada
Allah.
Dari beberapa keterangan yang
dikutipnya, Yusuf al-Qardawi menyimpulkan bahwa ibadah yang disyari’atkan oleh
Islam itu harus memenuhi dua unsur:
1. Mengikat diri (iltizam) dengan syari’at Allah
yang diserukan oleh para rasul-Nya, meliputi perintah , larangan, penghalalan,
dan pengharaman sebagai perwujudan ketaatan kepada Allah.
2. Ketaatan itu harus
tumbuh dari kecintaan hati kepada Allah, karena sesungguhnya Dialah yang paling
berhak untuk dicintai sehubungan dengan nikmat yang diberikan.
Dalam
pengertian yang luas ibadah meliputi segala yang dicintai Allah
dan diridhai-Nya, perkataan dan perbuatan lahir dan
batin. Termasuk di dalamnya shalat, puasa, zakat, haji, berkata benar dll. Jadi
meliputi yang fardhu, dan tathawwu’, muammalah bahkan akhlak karimah
serta fadhilah insaniyah.
Bahkan lebih lanjut, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa seluruh agama itu termasuk
ibadah.
B.
Ruang Lingkup Ibadah
Islam
sangat istimewa hingga menjadikan seluruh kegiatan manusia sebagai ibadah
apabila diniatkan dengan penuh ikhlas karena Allah demi mencapai keridhaan-Nya
serta dikerjakan menurut cara-cara yang disyariatkan oleh-Nya. Islam tidak
membataskan ruang lingkup ibadah kepada sudut-sudut tertentu saja. Seluruh
kehidupan manusia adalah medan amal dan persediaan bekal bagi para mukmin
sebelum mereka kembali bertemu Allah di hari pembalasan nanti. Ruang lingkup
ibadah di dalam Islam sangat luas sekali. Setiap apa yang dilakukan baik yang
bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah ibadah menurut Islam
asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat tersebut adalah seperti berikut:
1. Amalan yang dikerjakan hendaklah diakui Islam,
bersesuaian dengan hukum-hukum syara’. Adapun amalan-amalan yang diingkari oleh
Islam dan ada hubungan dengan yang
haram dan maksiat, maka tidak
dijadikan sebagai amalan ibadah.
2. Amalan tersebut dilakukan dengan niat yang
baik bagi tujuan untuk memelihara kehormatan diri, menyenangkan keluarga,
memberi manfaat kepada umat dan memakmurkan bumi sebagaimana yang dianjurkan
oleh Allah.
3. Amalan tersebut harus dibuat dengan
seindah-indahnya untuk menepati yang ditetapkan oleh Rasulullah saw yang
mafhumnya: “Bahwa Allah suka apabila seseorang dari kamu membuat sesuatu kerja
dengan memperindah kerjanya.”
4. Ketika membuat amalan tersebut hendaklah
sentiasa menurut hukum-hukum syara’ dan ketentuan batasnya, tidak menzalimi
orang lain, tidak khianat, tidak menipu dan tidak menindas atau merampas hak
orang.
5. Tidak melalaikan ibadah-ibadah khusus seperti
salat, zakat dan sebagainya dalam melaksanakan ibadah-ibadah umum. Oleh itu
ruang lingkup ibadah dalam Islam sangat luas. Ia adalah seluas hidup seseorang
Muslim dan kesanggupan serta kekuatannya untuk melakukan apa saja amal yang
diridhai oleh Allah dalam jangka waktu tersebut.
C. Dasar – Dasar Ibadah
Ibadah harus dibangun atas tiga
dasar, pertama, cinta
kepada Allah dan Rasul-Nya dengan mendahulukan kehendak, perintah, dan menjauhi
larangan-Nya. Rasulullah saw. Bersabda: “Ada
tiga hal yang apabila terdapat dalam seseorang niscaya ia akan mendapatkan
manisnya iman, yaitu bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang
lain; bahwa ia tidak mencintai seseorang melainkan semata karena Allah; dan
bahwa ia membenci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya,
sebagaimana ia membenci untuk dilemparkan ke dalam neraka.”
Dari HR
Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik: seorang hamba harus memiliki tiga maqam cinta, yaitu:
1. Maqam takmil (level penyempurnaan). Hendaklah ia mencintai
Allah dan Rasul-Nya dengan puncak kesempurnaan cinta.
2. Maqam tafriq (level pembedaan).
Hendaklah ia tidak mencintai seseorang melainkan hanya karena Allah. Ia harus
mampu membedakan mana yang dicintai dan yang dibenci Allah, baik yang berkaitan
dengan ucapan, perbuatan dan manusia.
3. Maqam daf’u al-naqidh (level
penolakan atas lawan iman). Hendaknya ia membenci segala sesuatu yang
berlawanan dengan iman, sebagaimana ia membenci jika dilemparkan ke dalam
neraka.
Selanjutnya, cinta harus ditandai dengan dua hal yaitu:
1. Mengikuti sunnah Rasulullah saw.
2. Jihad dan berjuang di jalan Allah dengan segala sesuatu
yang dimilikinya.
Kedua, takut, ia tidak merasa takut sedikit
pun kepada segala bentuk dan jenis makhluk selain kepada Allah. Dalam
beribadah, ia harus merasa takut apabila ibadahnya tidak diterima atau sekadar
menjadi aktivitas rutin yang tidak memiliki dampak positif sama sekali dalam
kehidupannya. Maka, dengan rasa takut kepada Allah, seorang hamba akan
senantiasa khusuk di hadapan-Nya ketika ia melakukan ibadah. Ia akan selalu
memelihara dan menjaga ibadahnya dari sifat riya’ yang sewaktu-waktu bisa
menjadi virus ibadah.
Adapun rasa takut kepada Allah SWT bias dilahirkan dari tiga
hal:
1) Seorang hamba mengetahui dosa-dosa dan keburukannya.
2) Seorang hamba percaya dan yakin akan ancaman Allah
terhadap orang-orang yang durhaka kepada-Nya.
3) Hendaknya hamba itu mengetahui dan meyakini, bahwa
boleh jadi ia tidak akan pernah bisa bertaubat dari dosa-dosanya.
Kuat lemahnya rasa takut kepada
Allah dalam diri seseorang bergantung pada kuat dan lemahnya ketiga hal
tersebut. Rasa takut itu akan memaksa seseorang untuk berlari kembali kepada
Allah dan merasa tentram di samping-Nya. Ia adalah rasa takut yang disertai
dengan kelezatan iman, ketenangan hati, ketentraman jiwa, dan cinta yang
senantiasa memenuhi ruang hati.
Ketiga, harapan, yaitu harapan untuk memperoleh
apa yang ada di sisi Allah tanpa pernah merasa putus asa. Seorang hamba
dituntut untuk selalu berharap kepada Allah dengan harapan yang sempurna. Seorang
hamba harus senantiasa berharap kepada Allah agar ibadahnya diterima. Ia tidak
boleh memiliki perasaan bahwa semua ibadah yang dilakukannya sangat mudah
diterima oleh Allah SWT tanpa ada harapan dan kecemasan. Begitu pula ia tidak
boleh putus asa dalam mengharap rahmat dari Allah.
Ketika ia menyadari kekurangannya
dalam memenuhi kewajiban-kewajiban kepada Allah, sebaiknya ia segera menyaksikan
karunia dan rahmat Allah. Sesungguhnya, rahmat-Nya jauh lebih luas daripada
segala sesuatu. Ada beberapa hal yang bisa menumbuhkan harapan dalam diri
seseorang, yaitu:
1) Kesaksian seorang hamba atas karunia, ihsan, dan
nikmat Allah atas hamba-hamba-Nya.
2) Kehendak yang jujur untuk memperoleh pahala dan
kenikmatan yang ada di sisi-Nya.
3) Menjaga diri dengan amal shaleh dan senantiasa
berlomba-lomba dalam mengerjakan kebaikan.
Ketiga dasar ibadah ini harus menyatu
dalam diri seorang hamba. Jika hilang salah satu dari ketiga hal tersebut, akan
menyebabkan kesalahan fatal dalam akidah dan tauhid. Beberapa ulama salaf
berpendapat, bahwa barangsiapa beribadah kepada Allah hanya dengan rasa cinta,
maka ia adalah zindiq. Dan barangsiapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan
rasa harap, maka ia golongan Murji’ah, dan barang siapa yang beribadah kepada
Allah hanya dengan rasa takut, maka ia dari golongan Khawarij. Namun,
barangsiapa beribadah kepada Allah dengan rasa cinta, harap, dan takut, maka ia
mukmin yang mengesakan Allah.
C. Hakikat dan Tujuan Ibadah
Hakikat ibadah menurut Imam Ibnu
Taimiyah adalah sebuah terminologi integral yang mencakup segala sesuatu yang
dicintai dan diridhai Allah baik berupa perbuatan maupun ucapan yang tampak
maupun yang tersembunyi. Dari definisi tersebut kita memahami bahwa cakupan
ibadah sangat luas. Ibadah mencakup semua sektor kehidupan manusia. Dari sini
kita harus memahami bahwa setiap aktivitas kita di dunia ini tidak boleh terlepas
dari pemahaman kita akan balasan Allah kelak. Sebab sekecil apapun aktivitas
itu akan berimplikasi terhadap kehidupan akhirat. Pada suatu risalah,
Al-Ghazali menyatakan bahwa hakikat ibadah adalah mengikuti Nabi Muhammad Saw.
Pada semua perintah dan larangannya. Sesuatu yang bentuknya seperti ibadah,
tapi diperbuat tanpa perintah, tidaklah dapat disebut sebagai ibadah. Shalat
dan puasa sekalipun hanya menjadi ibadah bila dilaksanakan sesuai dengan
petunjuk syara’. Melakukan shalat pada waktu-waktu terlarang atau berpuasa pada
pada hari raya, sama sekali tidak menjadi ibadah, bahkan merupakan pelanggaran
dan pembawa dosa. Jadi, jelaslah bahwa ibadah yang hakiki itu adalah menjujung
perintah, bukan semata-mata melakukan shalat dan puasa, sebab shalat dan puasa
itu akan menjadi ibadah bila sesuai dengan yang diperintahkan.
Akan tetapi, sesungguhnya ibadah
dengan pengertian yang hakiki itu merupakan tujuan dari dirinya sendiri. Dengan
melakukan ibadah, manusia akan selalu tahu dan sadar bahwa betapa lemah dan
hinanya mereka bila berhadapan dengan kekuasaan Allah, sehingga ia menyadari
benar-benar kedudukannya sebagai hamba Allah. Jika hal
ini benar-benar telah dihayati, maka banyak manfaat yang
akan diperolehnya. Misalnya saja surga yang dijanjikan, tidak akan luput sebab
Allah tidak akan menyalahi janjinya. Jadi, tujuan yang hakiki dari ibadah
adalah menghadapkan diri kepada Allah SWT
dan menunggalkan-Nya
sebagai tumpuan harapan dalam segala hal.
Kesadaran akan keagungan Allah akan
menimbulkan kesadaran betapa hina dan rendahnya semua makhluk-Nya. Orang yang
melakukan ibadah akan merasa akan terbebas dari beberapa ikatan atau kungkungan
makhluk. Semakin besar ketergantungan dan harapan seseorang kepada Allah,
semakin terbebaslah dirinya dari yang selain-Nya. Harta, pangkat, kekuasaan dan
sebagainya tidak akan mempengaruhi kepribadiannya. Hatinya akan menjadi merdeka
kecuali dari Allah dalam arti sesungguhnya. Kemerdekaan sesungguhnya adalah
kemerdekaan hati.
D. Jalan Agar Ibadah Diterima Oleh
Allah
Ibadah dalam arti sebenarnya adalah
takut dan tunduk sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh agama.
Seseorang akan belum sempurna ibadahnya, kalau hanya dilakukan lewat perbuatan
saja, sedangkan perasaan tunduk dan berhina diri itu belum bangkit dari hati.
Bila ibadah yang dikerjakan bukan karena Allah, hanya karena maksud lain
misalnya saja hanya ingin dilihat orang dan mendapatkan pujian, berarti ia
telah mempersekutukan Allah dan ibadah yang dikerjakannya akan ditolak oleh
Allah. Agar ibadah kita dapat diterima oleh Allah, kita harus memiliki sikap
berikut :
1. Ikhlas, artinya hendaklah ibadah yang kita kerjakan
itu bukan karena mengharap pemberian dari Allah, tetapi semata-mata karena
perintah dan ridha-Nya. juga bukan karena mengharapkan surga dan jangan pula
karena takut kepada neraka. Karena surga dan neraka tidak dapat menyenangkan
atau menyiksa tanpa seizin Allah SWT.
2. Meninggalkan riya, artinya beribadah bukan karena
malu kepada manusia dan supaya dilihat oleh orang lain.
3. Bermuraqabah, artinya yakin bahwa Allah itu melihat
dan selalu ada disamping kita sehingga kita bersikap sopan kepada-Nya.
4. Jangan keluar dari waktunya, artinya mengerjakan
ibadah dalam waktu tertentu, sedapat mungkin dikerjakan di awal waktu.
E. Jenis – Jenis Ibadah dan
Hikmahnya
Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi
dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya:
1. Ibadah Mahdhah, artinya penghambaan yang
murni hanya merupakan hubungan antara hamba dengan Allah secara langsung.
Ibadah bentuk ini memiliki 4 prinsip:
a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil
perintah, baik
dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh
ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
b. Tata caranya harus berpola kepada contoh Rasulullah saw Salah satu tujuan diutus rasul
oleh Allah adalah untuk memberi contoh:
“Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan
untuk ditaati dengan seizin Allah.” (QS. An-Nisa’: 64)
“Dan apa
saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang,
maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Jika
melakukan ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah atau tidak sesuai dengan
praktek Rasul saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul
umur” perkara mengada-ada, yang populer disebutbid’ah. Salah satu penyebab hancurnya agama-agama yang dibawa
sebelum Muhammad SAW adalah karena kebanyakan kaumnya bertanya dan menyalahi
perintah Rasul-rasul mereka.
c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini
bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal
hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan,
tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh
mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan
syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun
yang ketat.
d). Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini
adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang
diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan
hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk
dipatuhi. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah:
1. Wudhu 7. Membaca
al-Quran
2. Tayammum 8. I’tikaf
3. Mandi hadats 9. Shiyam ( Puasa )
4. Adzan 10. Haji
5. Iqamat 11. Umrah
6. Shalat 12. Tajhiz al- Janazah
2. Tayammum 8. I’tikaf
3. Mandi hadats 9. Shiyam ( Puasa )
4. Adzan 10. Haji
5. Iqamat 11. Umrah
6. Shalat 12. Tajhiz al- Janazah
2. Ibadah Ghairu Mahdhah, (tidak murni semata hubungan
dengan Allah)
yaitu ibadah yang di samping sebagai hubungan hamba
dengan Allah juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk
lainnya . Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:
a). Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang
melarang. Selama
Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh
diselenggarakan.
b). Tata laksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini
tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebutnya, segala hal
yang tidak dikerjakan rasul bid’ah,
maka bid’ahnya
disebut bid’ah hasanah,
sedangkan dalam ibadahmahdhah disebut bid’ah dhalalah.
c). Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau
untung-ruginya, manfaat atau madharatnya,
dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika
sehat, buruk, merugikan, danmadharat,
maka tidak boleh dilaksanakan.
d). Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
3. Hikmah Ibadah
Mahdhah
Pokok
dari semua ajaran Islam adalah “Tawhiedul
ilaah” (KeEsaan Allah) dan ibadah
mahdhah itu salah satu sasarannya adalah untuk mengekpresikan ke
Esaan Allah itu,
sehingga dalam pelaksanaannya diwujudkan dengan:
a. Tawhiedul wijhah (menyatukan arah pandang). Shalat semuanya harus menghadap ke
arah ka’bah, itu bukan menyembah Ka’bah, dia adalah batu tidak memberi manfaat
dan tidak pula memberi madharat, tetapi syarat sah shalat menghadap ke sana
untuk menyatukan arah pandang, sebagai perwujudan Allah yang diibadati itu Esa.
“Di mana pun orang shalat ke arah
sanalah kiblatnya.” (QS. Al-Baqarah 2: 144).
b. Tawhiedul harakah (Kesatuan gerak). Semua orang yang shalat gerakan
pokoknya sama, terdiri dari berdiri, membungkuk (ruku’), sujud dan duduk.
Demikian halnya ketika thawaf dan sa’i, arah putaran dan gerakannya
sama, sebagai perwujudan Allah yang diibadati hanya satu.
c. Tawhiedul lughah (Kesatuan ungkapan atau
bahasa). Karena
Allah yang disembah (diibadati) itu satu maka bahasa yang dipakai mengungkapkan
ibadah kepadanya hanya satu yakni bacaan shalat, tak peduli bahasa ibunya apa,
apakah dia mengerti atau tidak, harus satu bahasa, demikian juga membaca
al-Quran, dari sejak turunnya hingga kini al-Quran adalah bahasa al-Quran yang
membaca terjemahannya bukan membaca al-Quran.
2.3 Hikmah Mawaris
A. Pengertian Mawaris
Istilah Fiqh Mawaris (فقه المواريث)
sama pengertiannya dengan Hukum Kewarisan dalam bahasa Indonesia, yaitu hukum
yang mengatur tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia.
Ada dua nama ilmu yang membahas pembagian harta warisan, yaitu ilmu mawaris
(علم المواريث) dan ilmu fara'id (علم الفرائض). Kedua nama ini (mawaris dan
fara'id) disebut dalam al-Qur'an maupun al-hadis. Sekalipun obyek pembahasan
kedua ilmu ini sama, tetapi istilahnya jelas berbeda. Kataمواريث adalah jama'
dari ميراث dan miras itu sendiri sebagai masdar dari ورث - يرث- ارثا - وميراثا
.
Secara etimologi kata miras
mempunyai beberapa arti, di antaranya: al-baqa' (البقاء) , yang kekal;
al-intiqal(الانتقال) "yang berpindah", dan al-maurus (الموروث) yang
maknanya at-tirkah (التركة) "harta peninggalan orang yang meninggal
dunia". Ketiga kata ini (al-baqa', al-intiqal, dan at- tirkah) lebih
menekankan kepada obyek dari pewarisan, yaitu harta peninggalan pewaris.
Adapun kata fara'id (الفرائض) dalam
kontek kewarisan adalah bagian para ahli waris. Dengan demikian secara bahasa,
apabila ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu fara'id karena yang dibahas
adalah bagian para ahli waris, khususnya ahli waris yang bagiannya sudah
ditentukan. Apabila dibandingkan kedua istilah di atas dalam pengertian bahasa,
kata mawaris mempunyai pengertian yang lebih luas dan lebih menampung untuk
menyebut ilmu yang membahas tata cara pembagian harta peninggalan orang yang
meninggal dunia dibandingkan istilah fara'id.
Apabila ditelusuri pemakaian kedua
istilah di atas di kalangan para ulama, tampaknya pada awalnya lebih banyak
digunakan kata fara'id daripada kata mawaris. Hal ini dapat dilihat dari
fiqh-fiqh klasik yang dalam salah satu babnya memakai judul bab al-faraid atau
kitab al-fara'id, sebagai judul pembahasan kewarisan. Adapun pada masa
belakangan menunjukkan kebalikannya, yaitu lebih banyak digunakan kata mawaris,
seperti Wahbah az-Zuhaili dalam karyanya "al-Fiqh al-Islamy wa
Adillatuhu", jilid VIII dalam bab ke-6 memberi judul babnya الميراث.
Lafad al-faraid, sebagai jamak dari
kafazd faridhah, oleh para ulam faradhiyun diartikan semakna dengan lafazd
mafrudhah, yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya. Faraid dalam istilah
mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar
kecilnya oleh syara. Sedang ilmu faraidh oleh sebagian ulama faradhiyun di
ta’rifkan “ ilmu fiqhi yang berpautan dengan pembagian harta pusaka,
pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian
harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta
peningalan untuk setiap pemilik harta pusaka”.
Menurut fiqih adalah apa yang
ditinggalkan oleh orang mati berupa harta atau hak-hak yang karena kematianya
itu menjadi hak ahli warisnya secara syar’i.
Ilmu faraid adalah ilmu yang mempelajari pembagian warisan
dan cara penghitunganya dilihat darai kaca mata fiqih.
Istilah Fara’id adalah bahasa yang
menunjukkan bentuk plural atau jamak. Adapun bentuk mufradnya adalah “Faridah”
yang berarti: suatu ketentuan atau dapat pula diartikan bagian-bagian yang
tertentu. Di dalam hukum waris islam dikenal dengan istilah “Ilmul Fara’id”
atau disebut dengan ilmul mirats, yakni ilmu yang membahas tentang pembagian
warisan dari seseorang yang meninggal dunia.
Al-Syarbiny dalam sebuah kitabnya
Mughni al-Muhtaj juz 3 mengatakan bahwa: “Fiqih Mawaris adalah fiqih yang
berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai
kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian bagian yang wajib diterima
dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.” Dalam konteks
yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari
orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup. Wirjono
Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Warisan di Indonesia misalnya mendefinisikan
“Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia
akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”. Dengan demikian, ilmu faraidh
mencakup tiga unsur penting didalamnya:
1. Pengatahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli
waris;
2. Pengetahuan tentang bagian setiap ahli waris; dan
3. Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat
berhubungan dengan pembagian harta waris.
Dari pengertian mawaris secara
bahasa di atas dapat dipahami bahwa ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu
mawaris antara lain karena yang dibahasnya adalah mengenai tata cara pemindahan
harta peninggalan orang yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti
al-intiqal), atau karena yang dibahas oleh ilmu ini ialah harta peninggalan
orang yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti tirkah).
B. Kedudukan dan Urgensi Mawaris
Ilmu fara’idh atau fiqih mawaris
merupakan ilmu yang sangat penting. Oleh karena itu, Allah sendiri dan secara
langsung mengatur bagian-bagian fara’idh ini. Dia tidak menyerahkan hal
tersebut kepada malaikat atau rasul yang paling dekat sekalipun. Allah telah
menjelaskan masing-masing bagian ahli waris yang seperdua, seperempat,
seperdelapan, dua pertiga, sepertiga dan seperenam. Ini berbeda dengan
hukum-hukum lainnya, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain yang
nash-nashnya bersifat global. Allah SWT menjamin surga bagi kaum muslimin yang
melaksanakan hukum waris Islam ini.
Allah SWT berfirman. “(Hukum-hukum
tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah
dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di
dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan
yang besar” [An-Nisa: 13]. Allah SWT, mengancam dengan neraka dan adzab yang
pedih bagi orang-orang yang menyelisihi batasan-batasan fara’idh Islam
tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Dan barangsiapa yang
mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya
Allah memasukkannya kedalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya; dan
baginya siksa yang menghinakan” [An-Nisa : 14], Rasulullah SAW memerintahkan
agar umat Islam mempelajarai ilmu fara’idh dan mengajarkannya.
Amirul Mukminin Umar Ibnul Khaththab
Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pelajarilah fara’idh, sebab ia adalah bagian dari
agamamu”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata: “Pelajarilah
fara’idh, nahwu dan Sunnah sebagaimana kamu mempelajari Al-Qur’an” Ibnu Abbas
Ra, ketika menafsirkan ayat 73 surat Al-Anfal, dia menyatakan: “Jika kamu tidak
mengambil ilmu waris yang diperintahkan oleh Allah, maka pasti akan terjadi
fitnah di bumi dan kerusakan yang besar”.
Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu
‘anhu berkata : “Perumpamaan orang yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak pandai
fara’idh, adalah seperti baju burnus yang tidak memiliki kepala”. Para ulama
Islam sangat peduli dan memberi perhatian yang besar terhadap ilmu ini, dengan
berdiskusi, mengajarkan, merumuskan kaidah-kaidahnya, dan menuliskannya dalam
literarur (kitab) fiqih. Ini semua karena, fara’idh merupakan bagian dari agama
Islam, diwahyukan langsung oleh Allah, dan dijelaskan serta dipraketkkan oleh
Rasulullah SAW. (Lihat Syaikh Shalih Fauzan dalam At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil
Mabahits Al-Faradhiyyah, hlm. 13-16).
C. Dasar – Dasar Pewarisan Pada Masa
Jahiliyah
Orang-orang Arab jahiliyah adalah
tergolong salah satu bangsa yang gemar mengembara dan berperang. Kehidupan
mereka tergantung dari hasil jarahan dan rampasan perang dari bangsa-bangsa
yang telah mereka taklukkan, dan juga ada yang tergantung dari hasil
memperniagakan rempah-rempah. Dalam tradisi pembagian harta pusaka yang telah
diwarisi dari leluhur mereka terdapat suatu ketentuan utama bahwa anak-anak
yang belum dewasa dan kaum perempuan dilarang mempusakai harta peninggalan ahli
warisnya yang telah meninggal dunia.Tradisi tersebut menganggap bahwa anak-anak
yang belum dewasa dan kaum perempuan adalah sebagai keluarga yang belum atau
tidak pantas menjadi ahli waris. Sebagian dari mereka beranggapan bahwa janda
perempuan dari orang yang telah meninggal merupakan wujud harta peninggalan
yang dapat dipusakakan dan dipusakai kepada dan oleh ahli waris si mati .
Banyak sekali riwayat-riwayat dari
para sahabat yang menceritakan hal tersebut. Ibn Abi Thalhah, misalnya mengutib
suatu riwayat Ibn Abbas r.a yang menjelaskan: “Konon bila terjadi seorang
laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan seorang perempuan (janda),
kerabatnya melemparkan pakaiannya dimuka perempuan tersebut. (Atas tindakan
ini) maka yang melarangnya untuk dikawini oleh orang lain. Jika perempuan
tersebut cantik terus dikawininya dan juga jelek ditahannya sampai meninggal
dunia untuk kemudian dipusakai harta peninggalannya.” )
Bukti bahwa tradisi mewarisi janda
simati itu betul-betul terjadi pada zaman jahiliyah ialah tindakan seorang yang
bernama Mihshan bin Abu Qais al-Aslat, sesaat ayahnya meninggal dunia, ia
berhasrat mengawini janda ayahnya yang tidak diurus belanjanya dan tidak diberi
pusaka sedikitpun dari harta peninggalan ayahnya. Atas desakan dari calon
suaminya yang baru janda tersebut meminta ijin kepada Rasulullah agar
diperkenankan berkawin dengan Mihsham. Disaat itu Rasulullah belum dapat
memberikan jawaban secara spontan. Baru beberapa saat kemudian, setelah Allah
menurunkan ayat dari surat An-Nisa’: 19
“Hai orang- orang yang beriman, tidak halal bagi kamu
mempusakai wanita- wanita( janda- janda si mati) dengan cara paksaan.”
Tata aturan pembagian harta pusaka
di dalam masyarakat jahiliyyah, sebelum Islam datang, didasarkan atas nasab dan
kekerabatan, dan itu hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu
mereka yang lelaki yang sudah dapat memenggul senjata untuk mempertahankan
kehormatan keluarga, dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan.
Orang-orang perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan pusaka. Bahkan
orang-orang perempuan, yaitu istri ayah atau istri saudara di jadikan harta
pusaka.
Kemudian, pengangkatan anak, berlaku
dikalangan jahiliyah dan apabila sudah dewasa si anak angkat mempunyai hak yang
sepenuh-penuhnya sebagaimana disyaratkan oleh bapak yang mengangkatnya. Dan
karena itu, apabila bapak angkat ini meninggal, anak angkat mempunyai hak
mewaris sepenuh-penuhnya atas harta benda bapak angkatnya.
D. Penentuan Ahli Waris
Dalam penentuan ahli waris ada
sebab- sebab mempusakai yaitu ada 3 macam:
1. Adanya pertalian kerabat( qarabah)
2. Adanya janji prasetia( muhalafah)
3. Adanya pengangkatan anak( tabanny atau adopsi)
Hak pusaka belum dapat digunakan
sebagaimana mestinya, selama ia tidak memiliki dua buah syarat berikut:
1. Sudah dewasa
2. Orang laki- laki
Pertalian-kerabat saja belum cukup
kiranya dijadikan alasan untuk menuntut hak pusaka, selagi tidak di lengkapi
dengan adanya kekuatan jasmani yang sanggup untuk membela, melindungi dan
memelihara qabilah atau sekurang- kurangnya keluarga mereka. Dengan demikian
para ahli waris jahiliyah dari golongan kerabat semuanya terdiri dari golongan
laki- laki. Mereka itu ialah :
1. Anak laki-laki
2. Saudara laki-laki
3. Paman
4. Anak paman, Yang kesemuanya harus sudah dewasa.
Janji-prasetia itu baru terjadi dan
mempunyai kekuatan hukum, bila salah seorang pihak telah mengikrarkan janji
prasetianya kepada pihak lain, dengan ucapan (sumpah).
Sedangkan dalam pengangkatan anak seorang
yang telah mengambil anak laki- laki orang lain untuk di pelihara dan
dimasukkan didalam keluarga yang menjadi tanggungannya menjadi bapak angkat
terhadap anak yang telah diadopsi dengan berstatus anak nasab. Anak angkat
tersebut bila sudah dewasa dan bapak angkatnya meninggal dunia, dapat
mempusakai harta peninggalan bapak angkatnya seperti anak keturunannya sendiri.
Sedangkan penentuan ahli waris yaitu: dasar penentuan ahli waris pada zaman
awal-awal islam masih mengunakan adat yang berlaku diantaranya:
1. Pertalian kerabat (Al-Qarabah);
2. Janji prasetia (Al-bilf wa al mu`aqadah);
3. Pengangkatan anak (Al-tabanni) atau adopsi;
4. Hijrah dari Mekah ke Madinah;
5. Ikatan persaudaraan (Al-muakhah) antara orang-orang
Muhajirin (pendatang) dan orang-orang Anshor, yaitu orang-orang Madinah yang
memberikan pertolongan kepada kaum muhajirin dari Mekah di Madinah.
E. Hikamah Mawaris Dalam Ajaran
Islam
Hikmah mawaris antara lain :
1. Mawaris memperkuat
keyakinan bahwa Allah betul-betul Maha Adil, karena adilannya Allah tidak hanya
terdapat pada ciptaan-Nya, tetapi juga pada hukum-hukum yang telah
diterapkan-Nya, seperti hukum waris Islam.
Prinsip-prinsip keadilan mawaris tersebut antara lain :
Prinsip-prinsip keadilan mawaris tersebut antara lain :
a. Semua ahli waris yang mempunyai hubungan darah
secara langsung dengan pewaris (Ibu, Ayah, Anak laki-laki, Anak perempuan)
tentu akan mendapat bagian harta warisan mereka tidak dapat terhalang oleh ahli
waris lain.
b. Suami mendapat bagian harta peninggalan istrinya dan istri mendapat bagian dari harta peninggalan suaminya, walaupun antara suami dengan istri tidak ada hubungan darah, tetapi dalam kehidupan sehari-hari hubungan mereka sangat dekat dan jasanya pun antara satu terhadap lainnya tidak sedikit.
b. Suami mendapat bagian harta peninggalan istrinya dan istri mendapat bagian dari harta peninggalan suaminya, walaupun antara suami dengan istri tidak ada hubungan darah, tetapi dalam kehidupan sehari-hari hubungan mereka sangat dekat dan jasanya pun antara satu terhadap lainnya tidak sedikit.
c. Anak laki-laki mendapat harta warisan dua kali
lipat dari anak perempuan. Hal ini sesuai dengan prinsip keadilan bahwa
kewajiban dan tanggung jawab anak laki-laki lebih besar daripada anak
perempuan.
2. Hukum waris Islam memberi petunjuk kepada setiap
muslim, keluarga muslim, dan masyarakat Islam, agar selalu giat melakukan
usaha-usaha dakwah dan pendidikan Islam, sehingga tidak ada seorang Islam pun
yang murtad.
3. Menghilangkan jurang pemisah antara kelompok kaya
dan kelompok miskin serta dapat mendorong masyarakat untuk maju. Alasannya:
a. Hasil peninggalan orang-orang kaya yang meninggal
dunia tetapi tidak meninggalkan ahli waris, dimanfaatkan untuk kepentingan
kesejahteraan masyarakat.
b. Muslimin yang dikaruniai Allah harta kekayaan
yang melimpah, alangkah baiknya sebelum meninggal dunia berwasiat supaya 1/3
dari harta peninggalannya diserahkan kepada lembaga sosial atau lembaga pendidikan
dan dakwah Islam untuk kepentingan umat.
4. Mematuhi hukum waris Islam dengan dilandasi rasa
ikhlas karena Allah dan untuk memperoleh ridha Nya, tentu akan dapat
menghilangkan sifat-sifat tercela yang mungkin timbul kepada para ahli waris.
2.4
Hikmah Munakahat
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan dalam fiqh berbahasa arab
disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kata na-kaha dan za-wa-ja
terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin yang berarti bergabung, hubungan
kelamin, dan juga berarti akad.
Menurut Fiqh,
nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau
masyarakat yang sempurna[2]. Pernikahan itu
bukan hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga
perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya.
Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.[3]
Menurut
Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan
akad yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan pelaksanaanya adalah
merupakan ibadah.[4]
Pernikahan
dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan
kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut
perundang-undangan yang berlaku.
B. Hukum Perkawinan
Pada dasarnya
Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu untuk menikah. Namun
karena adanya beberapa kondisi yang bermacam - macam, maka hukum nikah ini
dapat dibagi menjadi lima macam.
a.
Sunnah, bagi orang yang berkehendak dan baginya yang mempunyai
biaya sehingga dapat memberikan nafkah kepada istrinya dan keperluan -
keperluan lain yang mesti dipenuhi.
b.
Wajib, bagi orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau
tidak menikah ia akan terjerumus dalam perzinaan.
c.
Makruh, bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan
pernikahan karena tidak
mampu memberikan belanja kepada istrinya atau kemungkinan lain lemah syahwat.
d. Haram, bagi orang yang ingin menikahi dengan niat untuk
menyakiti istrinya atau menyia - nyiakannya. Hukum haram ini juga terkena bagi
orang yang tidak mampu memberi belanja kepada istrinya, sedang nafsunya tidak
mendesak.
e.
Mubah, bagi orang - orang yang tidak terdesak oleh hal - hal
yang mengharuskan segera nikah atau yang mengharamkannya.
3.
Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun
perkawinan adalah sebagai berikut :
a.
Calon suami
b.
Calon istri
Syarat – syarat calon mempelai :
1) Keduanya jelas
identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik menyangkut nama,
jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain yang berkenaan dengan dirinya.
2) Keduanya
sama-sama beragama islam.
3) Antara keduanya
tidak terlarang melangsungkan perkawinan.
4) Kedua belah
pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula pihak yang akan mengawininya.
UU Perkawinan mengatur persyaratan persetujuan kedua
mempelai ini dalam Pasal 6 dengan rumusan yang sama dengan fiqh. Perkawinan
harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai. KHI mengatur persetujuan
kedua mempelai itu dalam Pasal 16.
5) Keduanya telah
mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.
Batas usia dewasa untuk calon mempelai diatur dalam UU
Perkawinan pada Pasal 7 dan KHI mempertegas persyaratan tersebut.
c.
Wali nikah dari
mempelai perempuan
Syarat – syarat
wali :
1) Telah dewasa
dan berakal sehat
2) Laki – laki.
Tidak boleh perempuan.
3) Muslim
4) Orang merdeka
5) Tidak berada
dalam pengampuan
6) Berpikiran baik
7) Adil
8) Tidak sedang
melakukan ihram, untuk haji atau umrah.
UU
Perkawinan sama sekali tidak menyebutkan adanya wali, yang disebutkan hanyalah
orang tua, itupun kedudukannya sebagai orang yang harus dimintai izinnya pada
waktu melangsungkan perkawinan. Hal itu diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3),
(4), (5), dan (6). KHI berkenaan dengan wali menjelaskan secara lengkap
mengikuti fiqh dalam Pasal 19, 20, 21, 22, dan 23.
d.
Dua orang saksi
Syarat – syarat
saksi :
1) Saksi itu
berjumlah paling kurang dua orang.
2) Kedua saksi itu
adalah bergama islam.
3) Kedua saksi itu
adalah orang yang merdeka.
4) Kedua saksi itu
adalah laki – laki.
5) Kedua saksi itu
bersifat adil.
6) Kedua saksi itu
dapat mendengar dan melihat.
UU Perkawinan tidak menghadirkan saksi dalam syarat-syarat
perkawinan, namun menghadirkan saksi dalam Pembatalan Perkawinan yang diatur
dalam Pasal 26 ayat (1). KHI mengatur saksi dalam perkawinan mengikuti fiqh
yang terdapat dalam Pasal 24, 25, dan 26.
e.
Ijab dan Qabul
Ijab adalah
penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak
kedua.
Syarat – syarat akad nikah :
1) Akad harus
dimulai dengan ijab dan
dilanjutkan dengan qabul.
2) Materi dari
ijab dan qabul tidak boleh berbeda.
3) Ijab dan qabul harus
diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat.
4) Ijab dan qabul mesti
menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang.
UU Perkawinan
tidak mengatur tentang akad pernikahan, namun KHI secara jelas mengatur dalam
Pasal 27, 28, dan 29.
B. Dasar Hukum Perkawinan
1. Menurut Fiqh Munakahat
a.
Dalil Al-Qur’an
Allah SWT
berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut.[5]
” Dan jika kamu takut tidak akan berlaku
adil terhadap anak yatim, maka kawinilah
perempuan-perempuan lain yang kamu
senangi, dua, tiga atau empat dan jika kamu
takut tidak akan berlaku adil, cukup sayu orang.” (An - Nisa : 3).
Ayat ini
memerintahkan kepada orang laki - laki yang sudah mampu untuk melaksanakan
nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam memberikan
kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain - lain yang bersifat
lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan
syarat - syarat tertentu. Menurut
Al-Qur’an, Surat Al A’raaf ayat 189 berbunyi : “Dialah yang menciptakan
kamu dari suatu zat dan daripadanya Dia menciptakan istrinya agar Dia merasa
senang.” (Al A’raaf
: 189).
Sehingga perkawinan adalah
menciptakan kehidupan keluarga anatar suami istri dan anak-anak serta orang tua
agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tenteram (Sakinah), pergaulan yang
saling mencintai (Mawaddah) dan saling menyantuni (Rohmah).[6]
b.
Dalil As-Sunnah
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud
r.a. dari Rasulullah yang bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa dioantara
kalian memiliki kemampuan, maka nikahilah, karena itu dapat lebih baik menahan
pandangan dan menjaga kehormatan. Dan siapa yang tidak memiiki kemampuan itu,
hendaklah ia selalu berpuasa, sebab puasa itu merupakan kendali baginya.
(H.R.Bukhari-Muslim).[7]
2. Menurut Undang – Undang Perkawinan
tahun 1974
Landasan hukum terdapat dalam Pasal
2 ayat (1) dan Pasal
2 ayat (2)
UU Perkawinan yang rumusannya.[8]
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan –
peraturan, pereundang – undangan yang berlaku.
3. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dasar perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dan 3
disebutkan bahwa :
Perkawinan
menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.[9]
C. Hikmah Perkawinan
1.
Perkawinan dapat menentramkan jiwa dan menghindarkan perbuatan
maksiat.
2.
Perkawinan
untuk melanjutkan keturunan
3. Bisa saling
melengkapi dalam suasana hidup dengan anak – anak.
4. Menimbulkan
tanggung jawab dan menimbulkan sikap rajin dan sungguh – sungguh dalam
mencukupi keluarga.
5. Adanya
pembagian tugas, yang satu mengurusi rumah tangga dan yang lain bekerja diluar.
D. Analisis Perbandingan
1. Fiqh
Munakahat dan UU Perkawinan
Fiqh Munakahat sebagai hukum agama mendapat pengakuan resmi
dari UU Perkawinan untuk mengatur hal – hal yang berkaitan dengan perkawinan.
Dengan melihat Pasal 2 ayat (1) tentang landasan hukum perkawinan itu
berarti bahwa apa yang dinyatakan sah menurut fiqh munakahat juga disahkan
menurut UU Perkawinan. UU Perkawinan secara prinsip dapat diterima karena tidak
menyalahi ketentuan yang berlaku dalam fiqh munakahat tanpa melihat mazhab fiqh
tertentu.
2. KHI
dan UU Perkawinan
KHI disusun dengan maksud untuk melengkapi UU Perkawinan dan
diusahakan secara praktis mendudukkannya sebagai hukum perundang-undangan
meskipun kedudukannya tidak sama dengan itu dan materinya tidak boleh
bertentangan dengan UU Perkawinan untuk itu seluruh materi UU Perkawinan
disalin ke dalam KHI meskipun rumusannya sedikit berbeda. Pasal-pasal KHI yang
diatur diluar perundang-undangan merupakan pelengkap yang diambil dari fiqh
munakahat, terutama menurut mazhab Syafi’iy.
3. Fiqh
Munakahat dan KHI
Di atas telah dijelaskan hubungan antara fiqh munakahat
dengan UU Perkawinan tentang perkawinan dengan segala kemungkinannya. dan
dijelaskan pula bahwa KHI adalah UU Perkawinan yang dilengkapi dengan fiqh
munakahat atau dalam arti lain bahwa fiqh munakahat adalah bagian dari KHI.
Fiqh munakahat yang merupakan bagian dari KHI tidak seluruhnya sama dengan fiqh
munakahat yang terdapat dalam mazhab yang dianut selama ini mazhab Syafi’iy.
2.5 Hikmah Jinayah
Jinayah atau lengkapnya fiqih
jinayah merupakan satu bagian dari bahasa fiqh. Kalau fiqih merupakan ketentuan
yang berdasarkan wahyu Allah yang bersifat operasional (amaliah) yang mengatur
kehidupan manusia dan hubungannya dengan Allah maka fiqih jinayat mengatur
khusus pencegahan tindak kejahatan yang dilakukan manusia dan kesaksian yang
dilakukan manusia sanksi hukuman yang berkenaan dengan hukuman kejahatan tersebut.
Tujuan umum
dari ketentuan yang ditetapkan Allah adalah mendatangkan kemashlahatan manusia,
baik mewujudkan keuntungan dan kemanfaatan bagi manusia maupun menghindari
kerusakan dan kemudharatan bagi manusia. Hal ini diperjelas oleh hadist yang
menyatakan: “ Tidak boleh terjadi kerusakan terhadap manusia dan tidak boleh
manusia melakukan perusakan terhadap orang lain”
Segala
bentuk tindakan perusakan terhadap oranng lain dinamakan tindakan kejahatan
atau jinayah atau disebut juga jarimah. Sungguh diantara tindakan yang dilarang
Allah itu ada yang diiringi ancaman hukuman terhadap pelakunya, baik ancaman
itu dirasakan pelakunya di dunia maupun adzab di akhirat. Segala bentuk
tindakan yang tindakan yang dilarang Allah dan ancaman pelakunya terhadap
ancaman tertentu secara khusus itu disebut jinayah atau jarimah.
Fiqih
jinayah berbicara tentang bentuk-bentuk tindakan kejahatan yang dilarang Allah
manusia melakukannya dan karenanya ia berdosa kepada Allah dan akibatnya dosa
itu akan dirasakannya adzab Allah di akhirat . Sangsi hukuman itu di dalam fiqh
disebut Uqubat, denag begitu setiap pembahasan tentang jianyat diiringi
pembahasantentang uqubat dalam istilah umum dirangkum dengan hokum pidana.
Setiap
tindakan disebut jahat dan kejahatan bila merusak sendi-sendi kehidupan
manusia. Ada lima hal yang selalu ada dalam kehidupan manusia yang tidak
sempurna manusia tersebut bila satu diantaranya luput, yaitu: akal,agama, harta,
keturunan (harga diri). Kelimanya disebut daruriyah. Manusia diperintahkan
untuk melindungi kelima unsure kehidupan manusia itu. Sebaiknya manusia
dilarang melakukan sesuatu yang merusak lima hal tersebut. Hal-hal apa saja
yang manusia tidak boleh merusaknya pada dasarnya merujuk kelima hal tersebut.
Adapun
kejahatan yang dinyatakan Allah dan nabi-Nya dan sanksinya adalah: murtad,
perzinahan, tuduhan melakukan perzinahan tanpa bukti, minum-minuman keras,
maker, dan pemberontakan. Sedangakan kejahatan tidak disebutkan secara
jelas oleh Allah dan nabi-Nya diserahkan
kepada ijtihat para ulama dan ditetapkan aturan danketentuannya oleh para
penguasa, seperti berjudi penipuan dan lainnya.
Allah
menetapkan sanksi hukuman terhadap kejahatan adalah untuk melindungi manusia
terhadap perusakan dari salah satu lima unsure pokok tersebut diatas. Allah
menetapkan hukuman mati terhadap pembunuh supaya hidup manusia terjamin dari pembunuhan.
Hal ini dapat dipahami dalam surat Al-baqarah ayat178 terkait dengan
pelaksanaan qisash (hukuman mati balasan yang setimpal) itu kamu akan
menentukan kehidupan bagi orang-orang yang berfikir mudah-mudahan kamu menjadi
orang yang bertaqwa.
“Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang
diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik
(pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang
sangat pedih. “
Firman Allah diatas mengandung arti
bahwa melakukan qisas, walaupun keliahatannya kejam dan menakutkan, namun daya
cegah dan manfaat terhadap orang untuk melakukan pembunuhan begitu ampuh,
hingga pembunuhan walaupun tidak bias dihabiskan, setidaknya dapat diperkecil.
Oleh karenaitu, akan terjamin dari
pembunuhan. Itulah yang dimaksud Allah dengan kehidupan dengan aya tersebut.
Sanksi atau hukuaman yang ditetapakan Allah untuk tindak kejahatan lainnya
mengandung maksud tersebut diatas. Dengan demikian tujuan sangsi atau hukuman
itu pada hakekatnya lebih bersifat prefektif yaitu memperkuat dan menjerakan
orang untuk melakukan atau mengulangi tindakan kejahatan.
Islam menetapkan bentuk-bentuk
hukuman untuk suatu tindak kejahatan atau jinayah berdasarkan apa yang
ditetapkan sendiri oleh Allah dalam wahyu-Nya dan penjelasan yang diberikan
Nabi dalam hadisnya. Allah Mah Tahu dan Maha Adil. Oleh karena itu apapun dalam
bentuk sanksi yang ditetapkan Allah atas suatu kejahatan berdasarkan keadilan
Illahi yang bersifat universal. Sunguh adalah kewajiban umat islam untuk
memahami, mematuhi, dan menjalankannya.
2.6
Hikamh Muamalat
A. Pengertian Muamalah
Pengertian muamalah dapat dilihat
dari dua segi, pertama dari segi bahasa dan kedua dari segi istilah. Menurut
bahasa, muamalah berasal dari kata : عَامَلَ-يُعَامِلُ-مُعَامَلَة
sama dengan wazan: فَاعَلَ-يُفَاعِلُ-مُفَاعَلَة
, artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling mengamalkan.
Menurut istilah, pengertian muamalah
dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pengertian muamalah dalam arti sempit.
Definisi muamalah dalam arti luas dijelaskan oleh para ahli sebagai berikut.
1. Al Dimyati berpendapat bahwa muamalah adalah:
التحصيل الدنيوي ليكون سببا لللأخر
“Menghasilkan duniawi, supaya menjadi sebab suksesnya
masalah ukhrawi”.
Meskipun bidang muamalah langsung menyangkut pergaulan hidup
yang bersifat duniawi, nilai-nilai agama tidak dapat dipisahkan. Ini berarti
bahwa pergaulan hidup duniawi itu akan mempunyai akibat-akibat di akhirat
kelak. Nilsi-nilai agama dalam muamalah itu dicerminkan oleh adanya hukum halal
dan haram yang harus selalu diperhatikan.
1.
Muhammad
Yusuf Musa berpendapat bahwa muamalah adalah peraturan-peraturan Allah yang
harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan
manusia.
2.
Muamalah
adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia
dengan manusia dalam hidup dan kehidupan.
Dari pengertian dalam arti luas di
atas, kiranya dapat diketahui bahwa muamalah adalah aturan-aturan (hukum) Allah
untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan
sosial.
Sedangkan pengertian muamalah dalam arti sempit (khas),
didefinisikan oleh para ulama sebagaia berikut.
1. Menurut Hudlari Byk.
اَلْمُعَامَلاَت جَمِيعِ الْعُقُوْدِ التيلل بِهَا يَتَبَادِل
منَا فعهم
“Muamalah adalah semua akad yang
membolehkan manusia saling menukar manfaatnya”.
1.
Menurut
Idris Ahmad, muamalah adalah aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya
dengan cara yang paling baik.
2.
Menurut
Rasyid Ridha, muamalah adalah tukar-menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat
dengan cara-cara yang telah ditentukan.
Dari pandangan di atas, dapat dipahami
bahwa yang dimaksud dengan fiqih muamalah dalam arti sempit adalah
aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dalam
kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.
Muamalah adalah merujuk pada segala
urusan yang berkaitan dengan harta (mal). Ia mencakupi segala jenis jual-beli,
sewaan, tabarru’ seperti hibah, waqaf dan wasiat, pengguguran hak seperti
pelepasan hutang, dan masih banyak yang lainnya.
Muamalah adalah tukar menukar
barang, jasa atau sesuatu yang memberi manfaat dengan tata cara yang
ditentukan. Adapun yang termasuk ke dalam kelompok muamalat yakni jual beli,
hutang piutang, pemberian upah, serikat usaha, urunan atau patungan, dan
lain-lain.
Perbedaan pengertian muamalah dalam
arti sempit dengan pengertian dalam arti luas adalah dalam cakupannya. Muamalah
dalam arti luas mencakup masalah waris, misalnya, padahal masalah waris dewasa
ini telah diatur dalam disiplin ilmu tersendiri, yaitu dalam fiqh mawaris (tirkah),
karena masalah waris telah diatur dalam disiplin ilmu tersendiri, maka dalam
muamalah pengertian sempit tidak termasuk di dalamnya.
Persamaan pengertian muamalah dalam
arti sempit dengan muamalah dalam arti luas ialah sama-sama mengatur hubungan
manusia dengan kaitan manusia pemutaran harta.
B. Pembagian Muamalah
Menurut Ibn Abidin, fiqh muamalah terbagi menjadi lima
bagian, yaitu:
a.Mu’awadlah Maliyah (Hukum Kebendaan),
b. Munakahat (Hukum Perkawinan),
c. Muhasanat (Hukum Acara),
d. Amanat dan Aryah (pinjaman),
e. Tirkah (Harta Peninggalan).
Al-Fikri dalam kitabnya,” Al-Muamalah al-Madiyahwa
al-Adabiyah”, menyatakan bahwa muamalahdibagi menjadi dua bagian sebagai
berikut.
1.
Al-Muamalah
al-Madiyah adalah
muamalah yang mengkajiobjeknya sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa
muamalah al-Madiyah adalah muamalah yang bersifat kebendaan karena
objekfiqh muamalah adalah benda yang halal, haram dan syubhatuntuk
diperjualbelikan, benda-benda yang memudharatkan dan benda yang mendatangkan
kemaslahatan bagi manusia, serta segi-segi lainnya.
2.
Al-Muamlah
al-Adabiyah ialah
muamalah yang ditinjau dari segi tukar-menukar benda yang bersumber dari panca
indera manusia, yang unsur penegaknya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban,
misalnya jujur, hasud, dengki, dendam.
Muamalah madiyah yang
dimaksud al-Fikri ialah aturan-aturan yang ditinjau dari segi objeknya. Oleh
karena itu, jual beli benda bagi muslim bukan hanya sekedar memperoleh untung
yang sebesar-besarnya, tetapi secara vertikal bertujuan untuk memperoleh ridha
Allah dan secara horizontal bertujuan untuk memperoleh keuntungan sehingga
benda-benda yang diperjualbelikan akan senantiasa dirujukkan kepada
aturan-aturan Allah. Benda-benda yang haram diperjualbelikan menurut syara’
tidak akan diperjualbelikan, karena tujuan jual beli bukan semata-mata ingin memperoleh
keuntungan, tetapi juga ridha Allah.
Muamalah al-adabiyah ialah
aturan-aturan Allah yang wajib diikuti dilihat dari segi subjeknya. Muamalah al-Adabiyah
ini berkisar pada keridhaan kedua belah pihak, ijab qabul, dusta, menipu, dan
yang lainnya.
C. Sumber Hukum Muamalah
Sumber-sumber hukum muamalah adalah
Al-Quran, sunnah Rasul dan ra’yu atau ijtihad. Al-Quran memberikan
ketentuan-ketentuan hukum muamalah yang sebagian besar berbentuk kaidah-kaidah
umum; kecuali itu, jumlahnya pun sangat sedikit. Misalnya, dalam Q.S.
Al-Baqarah: 188 terdapat larangan makan harta dengan cara yang tidak sah,
antara lain melalui suap. Dalam Q.S. An-Nisa’; 29 terdapat ketentuan bahwa
perdangan atas dasar suka rela merupakan salah satu bentuk muamalah yang halal.
Al-Quran yang memberikan
ketentuan-ketentuan hukum muamalah berbentuk kaidah-kaiadah umum itu
dimaksudkan untuk memberi kesempatan perkembangan dalam pergaulan hidup
masyarakat kemudian hari.
Sunnah Rasul memberikan ketentuan-ketentuan hukum muamalah
lebih terperinci daripada Al-Quran. Apabila Al-Quran menentukan bahwa berdagang
merupakan cara memperoleh rezeki yang halal, hadits-hadits Nabi memberikan
keterangan perinciannnya, seperti larangan menjual (tanpa memperoleh kuasa dari
pemiliknya), dilarang berjual beli buah-buahan sebelum masak (pantas dipetik)
dan sebagainya.
Dalam memberikan
keterangan-keterangan tentang perincian hukum muamalat itu, sunah rosul tidak
mencakup seluruh aspek-aspeknya sampai kepada yang sekecil-kecilnya. Dalam
sunah rosul pun banyak kita jumpai ungkapan-ungkapan yang sebenarnya masih merm
pula upakan kaidah-kaidah umum pula. Misalnya, nabi melarang
benrjul beli yang mengandung unsur-unsur kesamaran atau ketidak jelasan.
Misalnya, jual beli yang tidak dapat diketahui sifat-sifatnya dengan
jelas, seperti membeli buah-buahan sebelum pantas di petik, yang oleh
pembelinya di biarkan di atas pohon untuk pada beberapa waktu lagi baru di
petik.
Untuk memahami ketentuan-ketentuan hukum muamalah yang
terdapat dalam Alquran dan sunah rosul, demikian pula untuk memperoleh
ketentuan-ketentuan hukum muamalah yang baru timbul sesuai dengan
perkembangan kebutuhan masyarakat, diperlukan pemkiran-pemikiran baru yang di
sebut ijtihad. Sumber ijtihad inilah yang telah berperanan besar dalam
mengem-bangkan fikih islam, terutama di bidang muamalah. Tidak berlebih-lebihan
jika kita mngatakan bahwa sumber ijtihadlah yang paling banyak di pelukan di
hukum muamalah.
D. Prinsip Hukum Muamalah
Hukum muamalah Islam mempunyai prinsip yang dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1.
Pada
dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan
lain oleh Al-Quran dan sunnah Rasul.
2.
Muamalah
dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.
3.
Muamalah
dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari mudharat
dalam hidup masyarakat.
4.
Muamalah
dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur
penganiayaaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.
Secara ringkas ke empat prinsip
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Prinsip pertama mengandung arti bahwa hukum Islam
memberi kesempatan luas perkembangan bentuk dan macam muamalah baru sesuai
dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat.
Prinsip ke dua memperingatkan agar kebebasan
kehendak pihak-pihak bersangkutan selalu diperhatikan. Pelanggaran terhadap
kebebasan kehendak itu berakibat tidak dapat dibenarkannya sesuatu bentuk
muamalah. Misalnya, seseorang dipaksa menjual rumah kediamannya, padahal ia
masih ingin memilikinyadan tidak ada hal yang mengharuskan ia menjual dengan
kekuatan hukum. Jual beli yang terjadi dengan cara paksaan dipandang tidak
syah.
Prinsip ke tiga memperingatkan bahwa sesuatu bentuk
muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari
mudharat dalam hidup masyarakat, dengan akibat bahwa segala bentuk
muamlah yang merusak kehidupan masyarakat tidak dibenarkan. Mislanya, berdagang
narkotika dan ganja, perjudian, dan prostitusi.
Prinsip ke empat meentukan bahwa segala bentuk
muamalah yang mengundang unsur penindasan tidak dibenarkan. Misalnya, dalam
hutang piutang dengan tanggyungan barang. Untuk jumlah utang yang jauh lebih
kecil daripada harga barang tanggungannya diadakan ketentuan jika dalam waktu
tertentu utang tidak dibayar, barang tanggungan menjadi lebur, menjadi milik
yang berpiutang.
E. Objek Hukum Muamalah
Objek hukum muamalah, dalam
pengertiannya yang terbatas, hanya menyangkut urusan-urusan keperdataan dalam
hubungan kebendaan, dan meliputi tiga masalah pokok sebagai berikut:
1.
Hak
dan pendukungannya.
2.
Benda
dan milik atasnya
3.
Perikatan
hukum (akad).
Pengertian Jual-Beli
Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-Bai,
al-Tijarah dan al-Mubadalah, sebagaimana Allah Swt.
“Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan)
yang tidak akan rugi”.
(Fathir: 29)
Menurut istilah (terminologi) yang dimaksud dengan jual beli
adalah sebagai berikut.
1.
Menukar
barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik
dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.
2.
تملك
عين مالية بمعاوضة باذن شرعي
“Pemilikan harta benda dengan jalan tukar-menukar yang sesuai dengan
aturan syara”.
3.
Saling
tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab dan qabul,
dengan cara yang sesuai dengan syara’
4.
مقابلة
مال بمال على وجه مخصوص
Tukar-menukar benda dengan benda lain dengan cara yang khusus
(dibolehkan).
5.
Penukaran
benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak
milik dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan.
6.
Aqad
yang tegak atas dasar penukaran harta, maka jadilah penukaran hak milik secara
tetap.
Dari beberapa definisi di atas dapat
dipahami inti jual beli ialah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang
yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu
menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau
ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.
Sesuai dengan ketetapan hukum
maksudnya ialah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun, dan hal-hal lain
yang ada kaitannya dengan jual beli sehingga bila syarat-syarat dan rukunnya
tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara’.
Benda dapat mencakup pengertian
barang dan uang, sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai, yakni
benda-benda yang berharga dan dapat dibenarkan penggunaannya menurut syara’.
Benda itu adakalanya bergerak (dipindahkan) dan adakalanya tetap (tidak
dapat dipindahkan), ada yang dapat dibagi-bagi, adakalanya tidak dapat
dibagi-bagi, ada harta yang ada perumpamaannya (mistli) dan tak ada yang
menyerupainya (qimi) dan yang lain-lainnya. Penggunaan harta tersebut
dibolehkan sepanjang tidak dilarang syara’.
Benda-benda seperti alkohol, babi,
dan barang terlarang lainnya haramn diperjualbelikan sehingga jual beli
tersebut dipandang batal dan jika dijadikan harga penukar, maka jual beli
tersebut dianggap fasid.
Jual beli menurut ulama Malikiyah
ada dua macam, yaitu jual beli yang bersifat umum dan jual beli yang
bersifat khusus. Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan
tukar-menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Perikatan adalah
akad yang mengikat dua belah pihak. Tukar-menukar yaitu salah satu pihak
menyerahkan ganti penukaran atas sesuatu yang ditukarkan oleh pihak lain. Dan
sesuatu yang bukan manfaat ialah bahwa benda yang ditukarkan adalah dzat
(berbentuk), ia berfungsi sebagai objek penjualan, jadi bukan manfaatnya atau
bukan hasilnya.
Jual beli dalam arti khusus ialah ikatan
tukar-menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang
mempunyai daya tarik, penukarannya bukan mas dan bukan pula perak, bendanya
dapat direalisir dan ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak merupakan utang
baik barang itu ada di hadapan si pembeli maupun tidak, barang yang sudah
diketahui terlebih dahulu.
F. Rukun dan Syarat Jual Beli
Rukun jual beli ada tiga, yaitu akad
(ijab kabul), orang-orangyang berakad (penjual dan pembeli) dan ma’kud alaih
(abjek akad).
Akad ialah ikatan kata antara
penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan kabul
dilakukan sebab ijab kabul menunjukkan kerelaan (keridhaan). Pada dasarnya ijab
kabul dilakukan dengan lisan, tetapi kalau tidak mungkin, misalnya bisu atau
yang lainnya, boleh ijab kabul dengan surat-menyurat yang mengandung arti ijab
dan kabul.
Jual beli yang menjadi kebiasaan,
misalnya jual beli sesuatu yang menjadi kebutuhan sehari-haritidak disyaratkan
ijab dan kabul, ini adalah pendapat jumhur. Menurut fatwa Ulama Syafi’iyah,
jual beli barang-barang yang kecil pun harus ijab dan kabul, tetapi menurut
Imam An-Nawawi dan ulama Muta’akhirin Syafi’iyah berpendirian bahwa boleh jual
beli barang-barang yang kecil dengan tidak ijab kabul seperti membeli sebungkus
rokok.
G. Syarat-syarat Sah Ijab Kabul
Syarat-syarat sah ijab kabul ialah sebagai berikut.
1.
Jangan
ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja setelah penjual menyatakan ijab
dan sebaliknya.
2.
Jangan
diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan kabul.
3.
Beragama
Islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu,
misalnya seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama Islam kepada pembeli
yang tidak beragama Islam, sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan
merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah melarang orang-orang
mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin, firman-Nya:
Dan Allah sekali-kali tidak akan
memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang
beriman. (An-Nisa:
141).
Masalah ijab dan kabul ini para ulama fiqh berbeda pendapat,
di antaranya:
1. Menurut ulamaSyafi’iyah ijab dan
kabul ialah:
لاينعقد
البيع إلا بالصفة الكلامية
“tidak
sah akad jual beli kecuali dengan shigat (ijab kabul) yang diucapkan”.
2. Imam Malik berpendapat:
إن
البيع قد وقع و قد لزم بالاستفهام
“Bahwa
jual beli itu telah sah dan dapat dilakukan secara dipahami saja”
3. Pendapat ketiga ialah penyampaian
akad dengan perbuatan atau disebut juga dengan aqad bi al-mu’athah
yaitu: “Aqad bi al-Mu’athah ialah mengambil dan memberikan dengan tanpa
perkataan (ijab dan kabul), sebagaimana seseorang membeli sesuatu yang telah
diketahui harganya, kemudian ia mengambilnya dari penjual dan memberikan
uangnya sebagai pembayaran.
H. Macam-macam Jual Beli
Jual beli dapat ditinjau dari
beberapa segi. Ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang
sah menurut hukum dan batal menurut hukum, dari segi objek jual beli dan segi
pelaku jual beli.
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli
dapat dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi tiga bentuk:
1.
Jual
beli benda yang kelihatan
2.
Jual
beli yang disebutkan sifat-sifat dalam janji, dan
3.
Jual
beli benda yang tidak ada.
Selain pembelian di atas, jual beli
juga ada yang dibolehkan dan ada yang dilarang jual beli yang dilarang juaga
ada yang batal ada pula yang terlarang tetapi sah. Jual beli yang dilarang dan
batal hukumnya adalah sebagai berikut:
1.
Barang
yang hukumnya najis menurut agama, seperti anjing, babi, bangkai dll
2.
Jual
beli sperma (mani) hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan betina
agar dapat memperoleh keturunan.
3.
Jual
beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya.
4.
Jual
beli dengan muhaqallah. Baqalah berarti tanah, sawah, dan kebun, maksud muhaqallah
di sini ialah menjual tanam-tanaman yang masih di ladang atau di sawah.
5.
Jual
beli dengan mukhadharah, yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas
untuk dipanen, seperti menjual rambutan yang masih hijau.
6.
Jual
beli dengan muammassah, yaitu jual beli secara sentuh menyentuh.
7.
Jual
beli dengan munabadzah yaitu jual beli secara lempar-melempar, seperti
seseorang berkata, “lemparkan padaku apa yang ada padamu dan sebaliknya.
8.
Jua
beli dengan muzabanah, yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang
kering, seperti menjual padi kering dengan bayaran padi basah.
9.
Menentukan
dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan.
10. Jual beli dengan syarat (iwadh
mahjul), jaual beli ini hampir sama dengan jual beli menentukan dua harga,
hanya saja di sini di anggap sebagai syarat, seperti seseorang berkata, “aku
jual rumahku yang butut ini dengan syarat kamu mau menjual mobilmu padaku”.
11. Jual beli gharar,
yaitu jual beli yang samar sehingga ada kemungkinan terjadi penipuan.
12. Jual beli dengan
mengecualikan sebagian benda yang dijual.
13. Larangan menjual makanan
hingga dua kali ditakar.
Sedangkan jual beli yang dilarang
oleh agama, tetapi sah hukumnya, tetapi yang melakukannya mendapat dosa. Jual
beli tersebut antara lain:
1.
Menemui
orang-orang desa sebelum mereka masuk ke pasar untuk membeli benda-bendanya
dengan harga yang semurah-murahnya, sebelum mereka tahu harga pasaran, kemudian
ia jual dengan harga yang setinggi-tingginya.
2.
Menawar
barang yang sedang ditawar oleh orang lain.
3.
Jual
beli dengan Najasyi, ialah seseorang menambah atau melebihi harga temannya
dengan maksud memancing-mancing orang itu mau membeli barang kawannya.
4.
Menjual
di atas penjualan orang lain.
\
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Sebenarnya dari
uraian diatas dapat kita ketahui bahwasanya agama islam memberlakukan sebuah
syari’at Karen asetiap syari;at hukumny ada hikmahnya atau manfaatnya, dimana
setiap hikmah tersebut bertujuan untuk mempermudah kehidupan umat manusia di
muka bumi, supaya mereka mau tolong menolong dan bantu – membantu dengan cara
demikian.
Kehidupan masyarakat menjadi
teratur, pertalian yang satu dengan yang lain menjadi teguh diamping itu Allah
telah menjadikan manusia masing – masing asaling membutuhkan satu sama lain.
3.2
Saran
Segala
puji bagi Allah yang benar-benar mengeluarkan beberapa buah pikiran kepada yang
mempunyai akal menghilangkan dari langitnya akal, akan setiap penutup dari
mendungnya kebodohan, sehingga jelas bagi setiap yang mempunyai akal beberapa
matahari pengetahuan. Alhamdullilah kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “Hikmah
– Hikamah Syari’ah” sebagai tugas yang diberikan oleh Dosen mata kuliah materai
Hikamatut Tasyri’. Kami mengucapkan ribuah terima kasih kepada semua pihak yang
membantu pembuatan makalah ini terutama kepada, Dosen pembimbing kami Bapak Maduki
M.Pdi, ke dua orang tua, sahabat-sahabat seperjuangan, dan masih banyak lagi
yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Meskipun
demikian, karena tak ada gading yang tak retak, tegur sapa dari pembaca yang
sifatnya membangun akan selalu penulis terima dengan ikhlas. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca dan khususnya bagi penulis, amin, Yaa Robbal Alamien.
[1]
Syahih kamil
Muhammad,U’waidah, Fiqih Wanita, ( Al-Kautsar, 2011) Hal, 1
[3] Mohd. Idris
Ramulyo,S.H, M.H, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama, dan Zakat menurut Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), Hlm.
43
[4] Ibid, Mohd.
Idris Ramulyo,S.H, M.H, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), Hlm. 4
[5]
Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara
Fiqh Munakahat dan Undang – Undang Perkawinan, (Jakarta : Kencana, 2009),
hlm. 35
[7] Syekh Muhammad Sholeh Al-Utsaiin, Syekh Abdul Aziz Ibn
Muhammad Dawud, Pernikahan Islami : Dasar
Hidup Beruah Tangga, (Surabaya : Risalah Gusti 1991), hlm. 29
[10] Drs. Slamet
Abidin, Drs. H. Aminudin : Fiqh Munakahat I, (Bandung : CV Pustaka Setia,
1999), Hlm.