Sabtu, 13 Juli 2013

Hikmatut Tasriy'


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Islam telah datang dengan membawa sinar kebenaran bagi manusia secara keseluruhan dan memadamkan api kebodohan ditengah-tengah mereka, sehingga mereka mendapatkan kemenangan setelah terperangkap di dalam kekalahan. Mereka menjadi kuat setelah mengalami kelemahan, dan menjadi sehat setelah mengalami sakit selama berabad-abad.[1] 
Syariat menurut wahyu Allah yang murni, yang tetap tidak bisa berubah dan tidak dapat diubah, dengan kata lain syari’at bisa dikatakan sebagai Al- Thariqho Al-mustaqimah, yaitu ketentuan-ketentuan Allah yang sudah digariskan pada setiap manusia supaya mereka mengamalkannya sesuai yang sudah ditentukan, baik menyangkut masalah dunia maupun akhirat, baik yang bersifat ittiqodiyah dan amaliyah ataupun persoalan akhlak. Syari’at itu bersifat tsabit (tetap) dan tidak boleh berubah sepanjang masa.
Syariah secara harfiah adalah jalan sumber ke mata air, yakni jalan kurus yang diikuti oleh setiap umat islam. Syariat memuat ketetapan-ketetapan Allah, dan ketentuan Rasulullah SAW, baik berupa larangan mauun perintah, yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia.
1.2 Rumusan Msalah
1. Bagaimana himah thaharah ?
2. Bagaimana himah ibadah ?
3. Bagaimana himah mawaris ?
4 Bagaimana himah munakahat ?
5. Bagaimana himah jinayah ?
6. Bagaimana himah muamalat ?
1.3 Tujuan Penulisan
  Untuk mengetahui hikmah- hikmah syari’ah islam menenai thaharah, ibadah, mawaris, munakahat, jinayah dan muama.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hikmah Thaharah
A. Pengertian Thaharah
Thaharah secara bahasa adalah bersih (nadlafah), suci (nazahah), terbebas (khulus) dari kotoran (danas). Menurut istilah ahli fiqh, thaharah adalah menghilangkan sesuatu yang menjadi kendala bagi sahnya ibadah tertentu. Kendala-kendala tersebut ada yang sifat atau bendanya nyata sehingga dapat diketahui melalui indra, seperti benda-benda najis. Tetapi ada juga yang sifat atau bendanya tidak nyata (abstrak), seperti hadats.
Benda-benda najis adalah kotoran-kotoran yang wajib disucikan oleh setiap muslim, jika benda-benda itu terkena badannya, pakaiannya atau tempatnya. Jika tidak, bukan saja badannya, pakaian dan lingkungannya saja yang tidak suci, melainkan juga shalat yang didirikannya tidak sah.
Hadats adalah keadaan tidak suci. Dengan kata lain orang- orang yang tidak suci dikatakan berhadats yang menyebabkannya tidak boleh shalat, thawaf dan yang semacamnya.Seorang muslim yang batal wudhunya sudah dalam kondisi berhadats. Jika ia segera berwudhu maka ia kembali suci dan ia boleh shalat, thawaf dan amal lainnya yang mensyaratkan wudhu.
Adapun dalil-dalil mengenai thaharah adalah sebagai berikut :
1.(Al-ma’idah : 6)
وإن كنتم جنبافاطهوا
“…dan jika kamu (dalam keadaan) junub maka mandilah……”
2. (Q.S. 2,Al-Baqarah : 222)
إن الله يحب التوابين ويحب المتطهرين
“sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan (membersihkan) diri.
3. Hadits Nabi Muhammad :
مفتاح الصلاة الطهور
“Alat pembuka (pintu) shalat adalah bersuci.”

4. Sabda Rasulallah :
لاصلاة إلابطهور
“Tidak diterima shalat seseorang kecuali dengan kesuciaan.”
5. Sabda Rasulallah :
تحت كل شعرة جنابة ألاقبلواالشعرواتقواالبشرة
“Dibawah helai rambut terdapat jenabah/air mani, maka siramlah seluruh rambut dan jagalah (bersihkanlah) kulit.”
B. Pembagian Thaharah dan Hukumnya
Ada dua macam thaharah yaitu :
1. Thaharah (bersuci) dari najis
2. Thaharah (bersuci) dari hadats
Cara bersuci dari najis adalah dengan membersihkannya dengan air suci secukupnya sampai hilang dzat (bendanya), warna, rasa, dan baunya, baik dari badan dari kain maupun tempat, terutama kain dan tempat yang akan dipergunakn untuk ibadah .Air yang dapat digunakan bersuci adalah air yang suci pada dzatnya dan dapat menyucikan yang lainnya. Ia adalah air yang masih dalam keadaan asli.
Baik turun dari langit seperti hujan, salju, embun maupun mengalir diatas tanah seperti air sungai, sumur, laut, atau air hasil penyulingan. Inilah air yang sah dijadikan bahan bersuci dari hadas dan najis.
Hadats terbagi menjadi dua :
1. Hadits kecil, dan
2. Hadats besar
Hadats kecil terjadi karena tidak berwudhu atau wudhu batal. Maka cara menghilangkannya adalah dengan berwudhu. Hadats besar terjadi karena terjadi, antara lain : karena keluar mani atau bersetubuh dengan istri. Maka cara menyucikannya adalah dengan mandi (meratakan air keseluruh tubuh) atau, bagi mereka yang karena satu dan lain hal tidak sanggup menggunakan air, dengan cara tayamum.
Thaharah wajib hukumnya berdasarkan firman Allah dan hadits Nabi. Diantaranya : Q.S. 2,Al-Baqarah : 222, Al-ma’idah : 6, Al-Muddatstsir : 4, Dan hadits Nabi “Tidak diterima shalat seseorang kecuali dengan kesuciaan.”
Dari penjelasan ayat-ayat dan hadits tersebut memberi penjelasan bahwa thaharah wajib hukumnya, tidak saja karena orang muslim akan menjalankan shalat melainkan juga dalam semua keadaan, terutama bersuci dari najis dan hadats besar.
C. Tata Cara Thaharah
1. Thaharah dari Najis
Ada dua macam najis dengan kaitannya dengan cara membersihkannya, yaitu :
1. Najis yang dapat dilihat
2. Najis yang tidak dapat dilihat
Najis yang dapat dilihat adalah, misalnya, air besar (termasuk tahi hewan) dan darah. Cara membersihkan najis macam ini, apabila terkena badan, pakaian dan tempat adalah dengan menggosoknya (atau menguceknya dengan air), kemudian disiram dengan air sekali atau beberapa kali sampai bersih yakni, sampai hilang wujud, warna dan baunya. Najis yang sukar dihilangkan warnanya, misalnya yang kering pada kain, cukuplah dengan menghilangkan wujud dan baunya saja.
Najis yang tidak dapat dilihat misalnya, air kecil (termasuk kencing hewan), dibersihkan dengan cara menyiramnya sekali atau beberapa kali dengan air sampai yakin sudah bersih. Jika najis tersebut mengenai badan atau pakaian, tetapi tidak jelas lagi bagian yang terkena itu, maka kain itu harus dibersihkan keseluruhan. Berikut ini dijelaskan cara membersihkan benda-benda tertentu yang terkena najis :
1. Cara membersihkan benda cair yang terkena najis
Cara membersihkannya tergantung kepada keadaan benda cair itu, jika keadaan benda cair itu kental, maka cara membersihkannya dilakukan dengan membuang bagian yang terkena najis itu. Sebaliknya, jika keadaannya cair, maka keseluruhannya terhitung najis dan karenanya tidak boleh dimanfaatkan.
2. Cara membersihkan najis dari tanah
Cara membersihkan tanah yang terkena najis adalah dengan menyiramkan air secukupnya keatasnya. Ketentuaan ini berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW. :
“Seorang arab badui berdiri dan kencing didalam masjid. Orang-Orang lantas bangkit hendak memukulnya. Nabi SAW segera berkata : “Biarkanlah Dia! Dan tuangkanlah seember atau satu timba air kencingnya itu. Sesungguhnya anda sekalian diutus untuk mempermudah, bukan mempersulit.”
3. Cara membersihkan najis dari alat-alat keras
Yang dimaksud alat-alat keras adalah misalnya pisau, golok, pedang, tongkat, senapan, dan sebagainya. Jika alat-alat itu terkena najis, maka cara membersihkannya adalah dengan menggosokkan najis itu sampai hilang, termasuk warna dan baunya. Para sahabat melakukan cara penyucian itu dengan cara begitu, lalu mereka memakainya di dalam shalat.
4. Cara membersihkan najis dari alas kaki
Yang dimaksud alas kaki adalah seperti sandal (kulit, plastik atau kayu), sepatu dan sebagainya. Cara membersihkannya, jika terkena najis adalah dengan menggosokkannya ke tanah sampai najis tersebut hilang.
5. Cara membersihkan kecing bayi laki-laki
Kencing bayi laki-laki yang belum makan selain air susu ibu jika terkena kain atau lainnya cukup dengan memercikkan air kepada yang terkena air itu.
1. Cara membersihkan najis anjing dan babi
Kain atau lainnya yang terkena najis anjing demikian juga babi haruslah disamak yaitu, membasuhnya tujuh kali. Dengan tanah satu kali, yaitu diawalnya dibasuh dengan air yang dicampur tanah.
2. Wudhu
Wudhu menjadi sah, jika dilakukan dengan memenuhi rukun-rukunnya wudhu, yaitu :
a. Niat : yang dimaksud dengan niat adalah qashad (maksud, kehendak, kesengajaan) hati untuk melaksanakan suatu perbuatan yang bergandengan dengan awal perbuatan itu. Semua perbuatan ibadah terhitung tidak sah kecuali jika diawali dengan niat. Niat didalam wudhu ini ada sebagian ulama’ yang memandangnya sebagai syarat, bukan rukun. Bahkan imam abu hanifah dan sufyan sawry berpendapat bahwa niat tidak diisyaratkan pada wudhu sebab mereka memandang wudhu itu bukan termasuk mahdah.
b. Membasuh muka : muka adalah daerah wajah yang berada antara telinga kanan dan telinga kiri, dan dari tepi dahi sebelah atas., tempat tumbuh rambut sampai tepi bawah dagu, tempat tumbuh janggut.
c. Membasuh tangan sampai dengan kedua sikut
d. Mengusap kepala
e. Membasuh kaki sampai dengan mata kaki
f. Tertib : maksudnya adalah melaksanakannya, baik membasuh maupun mengusap anggota wudhu, secara berurutan sesuai dengan bunyi sebuah hadits “Mulailah dengan yang dimulai oleh Allah.” Sarat sah wudhu ada lima perkara, yaitu : 1. islam, 2. tamyiz (bisa membedakan, sudah berakal), 3. airnya suci, 4. tidak ada halangan batin (seperti akal tidak sehat), 5. tidak ada halangan dari agama ( seperti haid, nifas, dll.).
3. Mandi
Setiap mandi wajib maupun sunnah akan menjadi sah apabila dipenuhi rukun-rukunnya. Jika tidak maka mandi yang dilakukan oleh seseorang akan terhitung mandi biasa atau mandi kebiasaan yang hanya akan mendapat kebersihan badan. Rukun-rukun mandi tersebut adalah :
a. Niat : tanpa niat mandi tidak akan sah menjadi mandi wajib atau mandi sunnat. Memang niatlah yang membedakan antara mandi yang ditetapkan agama dengan mandi-mandi lainnya. Niat pula yang membedakan antara mandi wajib dengan mandi sunnah.Orang yang akan mandi wajib harus berniat menghilangkan hadas besar dan yang melakukan mandi sunnah harus berniat melakukan mandi sunnah.
b. Membasuh seluruh anggota badan : Setiap orang yang akan mandi menghilangkan hadas wajib meratakan air kesekujur tubuhnya . yang dikatakan (hakikat) mandi adalah membasuh dengan air seluruh anggota badan. Tata cara mandi yang sempurna adalah berniat menghilangkan hadas atau membolehkan ibadah yang mensaratkam mandi, dan membaca basmallah. Lalu membasuh tangan tiga kali, membasuh apa yang dikotori junub, berwudhu secara sempurna, membasuh kepala tiga kali sampai membasahi akar rambut, lalu membasuh seluruh tubuh mulai dari bagian-bagian kanan. Wanita tidak perlu menggerai rambutnya ketika mandi karena junub. Tapi dianjurkan menggeraikan ketika mandi karena haid atau nifas. Dalilnya adalah :“gerailah rambutmu lalu mandilah.” Dari Ummu salamah, dia berkata “Ya Nabi Allah aku wanita berambut lebat, haruskan aku menggerainya untuk mandi junub?” beliau bersabda : “tidak! Cukup bagimu mencidukkan air dengan telapak tanganmu ke kepala dengan tiga kali, lalu megguyur seluruh tubuh dengan air. Dengan begitu engkau telah suci.” (H.R. jama’ah kecuali Al-Bukhari)
4. Tayamum
Tayamum wajib didahului dengan niat, yaitu niat dengan membolehkan shalat.
Urutan pelaksanaannya adalah :
1. Niat untuk membolehkan shalat
2. Membaca basmallah
3. Memukulkan (menempelkan) kedua telapak tangan ketanah, kemudian mengangkatnya dan meniupnya atau menepukkan kedua telapak tangan (agar tanah tidak terlalu banyak), lalu mengusapkannya kewajah dan kedua tangan sampai dengan pergelangan. Ada ulama’ yang berpendapat bahwa cara tayamum itu adalah dengan memukulkan kedua telapak tangan ketanah sebanyak dua kali. Sekali untuk mengusap wajah dan sekali untuk mengusap tangan sampai siku. Menurut mereka, mengusap tangan sampai siku, dikiaskan dengan wudhu. Sayyid sabiq menjelaskan, dalam Fiqqus Sunnah, bahwa cara semacam itu tidak mempunyai keterangan yang jelas seperti jelasnya keterangan mengenai cara yang tersebut pertama.
D. Hikmah Thaharah
Dalam syari’at Islam bersuci mempunyai beberapa manfa’at, diantara lainnya sebagai berikut :
1. Kita semua tahu bahwa benda-benda najis baik didalam maupun luar tubuh manusia adalah benda-benda kotor yang banyak mengandung bibit penyakit dan dapat membawa mudharat bagi kesehatan tubuh manusia. Karena itu, bersuci berarti telah melakukan usaha untuk menjaga kesehatan.
2. kebersihan dan kesehatan jasmani yang dicapai melalui bersuci akan menambah kepercayaan diri sendiri. Karena itu, dalam kehidupan sehari-hari, manusia selalu mengutamakan kesehatan dan kebersihan.
3. Syari’at bersuci berisi ketentuan-ketentuan dan adab, jika dilaksanakan dengan penuh kesadaran kedisiplinan akan menumbuhkan kebiasaan yang baik. Ketentuan dan adab dalam Islam berbentuk ajaran yang mempertinggi harkat dan martabat manusia.
4. Sebagai hamba Allah SWT. yang harus mengabdi kepada-Nya dalam bentuk ibadah maka bersuci merupakan salah satu syarat sahnya sehingga menunjukkan pembuktian awal ketundukannya kepada Allah SWT.

2.2 Hikmah Ibadah
A. Pengertian Ibadah
Menurut bahasa, kata ibadah berarti patuh (al-tha’ah), dan tunduk (al-khudlu)Ubudiyah artinya tunduk dan  merendahkan diri. Menurut al-Azhari, kata ibadah tidak dapat disebutkan kecuali untuk kepatuhan kepada Allah. Ini sesuai dengan pengertian yang di kemukakan oleh al-syawkani, bahwa ibadah itu adalah kepatuhan dan perendahan diri yang paling maksimal.
Secara etimologis diambil dari kata ‘ abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun. ‘Abid, berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak memiliki apa-apa, harta dirinya sendiri milik tuannya, sehingga karenanya seluruh aktifitas hidup hamba hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan murkanya.
Manusia adalah hamba Allah “Ibaadullaah” jiwa raga hanya milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk  ibadah atau menghamba kepada-Nya. Menurut istilah syara’ pengertian ibadah dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut, menurut Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-ubudiyah, memberikan penjelasan yang cukup luas tentang pengertian ibadah. Pada dasarnya ibadah berarti merendahkan diri (al-dzull).
Akan tetapi, ibadah yang diperintahkan agama bukan sekedar taat atau perendahan diri kepada Allah. Ibadah itu adalah gabungan dari pengertian ghayah al-zull dan ghayah al-mahabbah. Patuh kepada seseorang tetapi tidak mencintainya, atau cinta tanpa kepatuhan itu bukan ibadah. Jadi, cinta atau patuh saja belum cukup disebut ibadah. Seseorang belum dapat dikatakan beribadah kepada Allah kecuali apabila ia mencintai Allah, lebih dari cintanya kepada apapun dan memuliakan-Nya lebih dari segala lainnya.
Menurut uraiannya, Ibn Taimiyah sangat menekankan bahwa cinta merupakan unsur yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari pengertian ibadah. Menurutnya, agama yang benar adalah mewujudkan ubudiyah kepada Allah dari segala seginya, yakni mewujudkan cinta kepada-Nya. Semakin benar ubudiyah seseorang, semakin besarlah cintanya kepada Allah.
Dari beberapa keterangan yang dikutipnya, Yusuf al-Qardawi menyimpulkan bahwa ibadah yang disyari’atkan oleh Islam itu harus memenuhi dua unsur:
1.  Mengikat diri (iltizam) dengan syari’at Allah yang diserukan oleh para rasul-Nya, meliputi perintah , larangan, penghalalan, dan pengharaman sebagai perwujudan ketaatan kepada Allah.
2.  Ketaatan itu harus tumbuh dari kecintaan hati kepada Allah, karena sesungguhnya Dialah yang paling berhak untuk dicintai sehubungan dengan nikmat yang diberikan.
            Dalam pengertian yang luas ibadah meliputi segala yang dicintai Allah dan    diridhai-Nya, perkataan dan perbuatan lahir dan batin. Termasuk di dalamnya shalat, puasa, zakat, haji, berkata benar dll. Jadi meliputi yang fardhu, dan tathawwu’muammalah bahkan akhlak karimah serta fadhilah insaniyah. Bahkan lebih lanjut, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa seluruh agama itu termasuk ibadah.
B. Ruang Lingkup Ibadah
            Islam sangat istimewa hingga menjadikan seluruh kegiatan manusia sebagai ibadah apabila diniatkan dengan penuh ikhlas karena Allah demi mencapai keridhaan-Nya serta dikerjakan menurut cara-cara yang disyariatkan oleh-Nya. Islam tidak membataskan ruang lingkup ibadah kepada sudut-sudut tertentu saja. Seluruh kehidupan manusia adalah medan amal dan persediaan bekal bagi para mukmin sebelum mereka kembali bertemu Allah di hari pembalasan nanti. Ruang lingkup ibadah di dalam Islam sangat luas sekali. Setiap apa yang dilakukan baik yang bersangkut dengan individu maupun dengan masyarakat adalah ibadah menurut Islam asalkan  memenuhi syarat-syarat tertentu.
Syarat-syarat tersebut adalah seperti berikut:
1. Amalan yang dikerjakan hendaklah diakui Islam, bersesuaian dengan hukum-hukum syara’. Adapun amalan-amalan yang diingkari oleh Islam dan ada hubungan dengan yang
    haram dan maksiat, maka tidak dijadikan sebagai amalan ibadah.
2.  Amalan tersebut dilakukan dengan niat yang baik bagi tujuan untuk memelihara kehormatan diri, menyenangkan keluarga, memberi manfaat kepada umat dan memakmurkan bumi sebagaimana yang dianjurkan oleh Allah.
3.  Amalan tersebut harus dibuat dengan seindah-indahnya untuk menepati yang ditetapkan oleh Rasulullah saw yang mafhumnya: “Bahwa Allah suka apabila seseorang dari kamu membuat sesuatu kerja dengan memperindah kerjanya.”
4.  Ketika membuat amalan tersebut hendaklah sentiasa menurut hukum-hukum syara’ dan ketentuan batasnya, tidak menzalimi orang lain, tidak khianat, tidak menipu dan tidak menindas atau merampas hak orang.
5.  Tidak melalaikan ibadah-ibadah khusus seperti salat, zakat dan sebagainya dalam melaksanakan ibadah-ibadah umum. Oleh itu ruang lingkup ibadah dalam Islam sangat luas. Ia adalah seluas hidup seseorang Muslim dan kesanggupan serta kekuatannya untuk melakukan apa saja amal yang diridhai oleh Allah dalam jangka waktu tersebut.
C. Dasar – Dasar Ibadah
Ibadah harus dibangun atas tiga dasar, pertama, cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dengan mendahulukan kehendak, perintah, dan menjauhi larangan-Nya. Rasulullah saw. Bersabda: “Ada tiga hal yang apabila terdapat dalam seseorang niscaya ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang lain; bahwa ia tidak mencintai seseorang melainkan semata karena Allah; dan bahwa ia membenci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana ia membenci untuk dilemparkan ke dalam neraka.”
Dari HR Bukhari dan Muslim, dari Anas bin Malik: seorang hamba harus memiliki tiga maqam cinta, yaitu:
1. Maqam takmil (level penyempurnaan). Hendaklah ia mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan puncak kesempurnaan cinta.
2.  Maqam tafriq (level pembedaan). Hendaklah ia tidak mencintai seseorang melainkan hanya karena Allah. Ia harus mampu membedakan mana yang dicintai dan yang dibenci Allah, baik yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan dan manusia.
3.  Maqam daf’u al-naqidh (level penolakan atas lawan iman). Hendaknya ia membenci segala sesuatu yang berlawanan dengan iman, sebagaimana ia membenci jika dilemparkan ke dalam neraka.
Selanjutnya, cinta harus ditandai dengan dua hal yaitu:
1. Mengikuti sunnah Rasulullah saw.
2. Jihad dan berjuang di jalan Allah dengan segala sesuatu yang dimilikinya.
Kedua, takut, ia tidak merasa takut sedikit pun kepada segala bentuk dan jenis makhluk selain kepada Allah. Dalam beribadah, ia harus merasa takut apabila ibadahnya tidak diterima atau sekadar menjadi aktivitas rutin yang tidak memiliki dampak positif sama sekali dalam kehidupannya. Maka, dengan rasa takut kepada Allah, seorang hamba akan senantiasa khusuk di hadapan-Nya ketika ia melakukan ibadah. Ia akan selalu memelihara dan menjaga ibadahnya dari sifat riya’ yang sewaktu-waktu bisa menjadi virus ibadah.
Adapun rasa takut kepada Allah SWT bias dilahirkan dari tiga hal:
1) Seorang hamba mengetahui dosa-dosa dan keburukannya.
2) Seorang hamba percaya dan yakin akan ancaman Allah terhadap orang-orang yang durhaka kepada-Nya.
3) Hendaknya hamba itu mengetahui dan meyakini, bahwa boleh jadi ia tidak akan pernah bisa bertaubat dari dosa-dosanya.
Kuat lemahnya rasa takut kepada Allah dalam diri seseorang bergantung pada kuat dan lemahnya ketiga hal tersebut. Rasa takut itu akan memaksa seseorang untuk berlari kembali kepada Allah dan merasa tentram di samping-Nya. Ia adalah rasa takut yang disertai dengan kelezatan iman, ketenangan hati, ketentraman jiwa, dan cinta yang senantiasa memenuhi ruang hati.
Ketiga, harapan, yaitu harapan untuk memperoleh apa yang ada di sisi Allah tanpa pernah merasa putus asa. Seorang hamba dituntut untuk selalu berharap kepada Allah dengan harapan yang sempurna. Seorang hamba harus senantiasa berharap kepada Allah agar ibadahnya diterima. Ia tidak boleh memiliki perasaan bahwa semua ibadah yang dilakukannya sangat mudah diterima oleh Allah SWT tanpa ada harapan dan kecemasan. Begitu pula ia tidak boleh putus asa dalam mengharap rahmat dari Allah.
Ketika ia menyadari kekurangannya dalam memenuhi kewajiban-kewajiban kepada Allah, sebaiknya ia segera menyaksikan karunia dan rahmat Allah. Sesungguhnya, rahmat-Nya jauh lebih luas daripada segala sesuatu. Ada beberapa hal yang bisa menumbuhkan harapan dalam diri seseorang, yaitu:
1) Kesaksian seorang hamba atas karunia, ihsan, dan nikmat Allah atas hamba-hamba-Nya.
2) Kehendak yang jujur untuk memperoleh pahala dan kenikmatan yang ada di sisi-Nya.
3) Menjaga diri dengan amal shaleh dan senantiasa berlomba-lomba dalam mengerjakan kebaikan.
Ketiga dasar ibadah ini harus menyatu dalam diri seorang hamba. Jika hilang salah satu dari ketiga hal tersebut, akan menyebabkan kesalahan fatal dalam akidah dan tauhid. Beberapa ulama salaf berpendapat, bahwa barangsiapa beribadah kepada Allah hanya dengan rasa cinta, maka ia adalah zindiq. Dan barangsiapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan rasa harap, maka ia golongan Murji’ah, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah hanya dengan rasa takut, maka ia dari golongan Khawarij. Namun, barangsiapa beribadah kepada Allah dengan rasa cinta, harap, dan takut, maka ia mukmin yang mengesakan Allah.
C. Hakikat dan Tujuan Ibadah
Hakikat ibadah menurut Imam Ibnu Taimiyah adalah sebuah terminologi integral yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah baik berupa perbuatan maupun ucapan yang tampak maupun yang tersembunyi. Dari definisi tersebut kita memahami bahwa cakupan ibadah sangat luas. Ibadah mencakup semua sektor kehidupan manusia. Dari sini kita harus memahami bahwa setiap aktivitas kita di dunia ini tidak boleh terlepas dari pemahaman kita akan balasan Allah kelak. Sebab sekecil apapun aktivitas itu akan berimplikasi terhadap kehidupan akhirat. Pada suatu risalah, Al-Ghazali menyatakan bahwa hakikat ibadah adalah mengikuti Nabi Muhammad Saw. Pada semua perintah dan larangannya. Sesuatu yang bentuknya seperti ibadah, tapi diperbuat tanpa perintah, tidaklah dapat disebut sebagai ibadah. Shalat dan puasa sekalipun hanya menjadi ibadah bila dilaksanakan sesuai dengan petunjuk syara’. Melakukan shalat pada waktu-waktu terlarang atau berpuasa pada pada hari raya, sama sekali tidak menjadi ibadah, bahkan merupakan pelanggaran dan pembawa dosa. Jadi, jelaslah bahwa ibadah yang hakiki itu adalah menjujung perintah, bukan semata-mata melakukan shalat dan puasa, sebab shalat dan puasa itu akan menjadi ibadah bila sesuai dengan yang diperintahkan.
Akan tetapi, sesungguhnya ibadah dengan pengertian yang hakiki itu merupakan tujuan dari dirinya sendiri. Dengan melakukan ibadah, manusia akan selalu tahu dan sadar bahwa betapa lemah dan hinanya mereka bila berhadapan dengan kekuasaan Allah, sehingga ia menyadari benar-benar kedudukannya sebagai hamba Allah. Jika hal ini    benar-benar telah dihayati, maka banyak manfaat yang akan diperolehnya. Misalnya saja surga yang dijanjikan, tidak akan luput sebab Allah tidak akan menyalahi janjinya. Jadi, tujuan yang hakiki dari ibadah adalah menghadapkan diri kepada Allah SWT dan          menunggalkan-Nya sebagai tumpuan harapan dalam segala hal.
Kesadaran akan keagungan Allah akan menimbulkan kesadaran betapa hina dan rendahnya semua makhluk-Nya. Orang yang melakukan ibadah akan merasa akan terbebas dari beberapa ikatan atau kungkungan makhluk. Semakin besar ketergantungan dan harapan seseorang kepada Allah, semakin terbebaslah dirinya dari yang selain-Nya. Harta, pangkat, kekuasaan dan sebagainya tidak akan mempengaruhi kepribadiannya. Hatinya akan menjadi merdeka kecuali dari Allah dalam arti sesungguhnya. Kemerdekaan sesungguhnya adalah kemerdekaan hati.
D. Jalan Agar Ibadah Diterima Oleh Allah
Ibadah dalam arti sebenarnya adalah takut dan tunduk sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh agama. Seseorang akan belum sempurna ibadahnya, kalau hanya dilakukan lewat perbuatan saja, sedangkan perasaan tunduk dan berhina diri itu belum bangkit dari hati. Bila ibadah yang dikerjakan bukan karena Allah, hanya karena maksud lain misalnya saja hanya ingin dilihat orang dan mendapatkan pujian, berarti ia telah mempersekutukan Allah dan ibadah yang dikerjakannya akan ditolak oleh Allah. Agar ibadah kita dapat diterima oleh Allah, kita harus memiliki sikap berikut :
1. Ikhlas, artinya hendaklah ibadah yang kita kerjakan itu bukan karena mengharap pemberian dari Allah, tetapi semata-mata karena perintah dan ridha-Nya. juga bukan karena mengharapkan surga dan jangan pula karena takut kepada neraka. Karena surga dan neraka tidak dapat menyenangkan atau menyiksa tanpa seizin Allah SWT.
2. Meninggalkan riya, artinya beribadah bukan karena malu kepada manusia dan supaya dilihat oleh orang lain.
3. Bermuraqabah, artinya yakin bahwa Allah itu melihat dan selalu ada disamping kita sehingga kita bersikap sopan kepada-Nya.
4. Jangan keluar dari waktunya, artinya mengerjakan ibadah dalam waktu tertentu, sedapat mungkin dikerjakan di awal waktu.
E. Jenis – Jenis Ibadah dan Hikmahnya
Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya:
1. Ibadah Mahdhah, artinya  penghambaan yang murni hanya merupakan hubungan antara hamba dengan Allah secara langsung. Ibadah bentuk ini  memiliki 4 prinsip:
a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
b. Tata caranya harus berpola kepada contoh Rasulullah saw Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi contoh:
“Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (QS. An-Nisa’: 64)
“Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)
            Jika melakukan ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah atau tidak sesuai dengan praktek Rasul saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul umur” perkara mengada-ada, yang populer disebutbid’ah. Salah satu penyebab hancurnya agama-agama yang dibawa sebelum Muhammad SAW adalah karena kebanyakan kaumnya bertanya dan menyalahi perintah Rasul-rasul mereka.
c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
d). Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah:
1.   Wudhu                                                             7.   Membaca al-Quran
2.   Tayammum                                                      8.   I’tikaf
3.   Mandi hadats                                                   9.   Shiyam ( Puasa )
4.   Adzan                                                              10. Haji
5.   Iqamat                                                              11. Umrah
6.   Shalat                                                               12. Tajhiz al- Janazah
2. Ibadah Ghairu Mahdhah, (tidak murni semata hubungan dengan Allah)
yaitu ibadah yang di samping sebagai hubungan  hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya .  Prinsip-prinsip dalam ibadah ini, ada 4:
a). Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan.
b). Tata laksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebutnya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadahmahdhah disebut bid’ah dhalalah.
c). Bersifat rasional,  ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika.  Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, danmadharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
d). Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
3.   Hikmah Ibadah Mahdhah
            Pokok dari semua ajaran Islam adalah “Tawhiedul ilaah” (KeEsaan Allah) dan ibadah mahdhah itu salah satu sasarannya adalah untuk mengekpresikan ke Esaan Allah itu,
sehingga dalam pelaksanaannya diwujudkan dengan:
a. Tawhiedul wijhah (menyatukan arah pandang). Shalat semuanya harus menghadap ke arah ka’bah, itu bukan menyembah Ka’bah, dia adalah batu tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi madharat, tetapi syarat sah shalat menghadap ke sana  untuk menyatukan arah pandang, sebagai perwujudan Allah yang diibadati itu Esa. “Di mana pun orang shalat ke arah sanalah kiblatnya.”  (QS. Al-Baqarah 2: 144).
b. Tawhiedul harakah (Kesatuan gerak). Semua orang yang shalat gerakan pokoknya sama, terdiri dari berdiri, membungkuk (ruku’), sujud dan duduk. Demikian halnya ketika thawaf dan sa’i, arah putaran dan gerakannya sama, sebagai perwujudan Allah yang diibadati hanya satu.
c. Tawhiedul lughah (Kesatuan ungkapan atau bahasa). Karena Allah yang disembah (diibadati) itu satu maka bahasa yang dipakai mengungkapkan ibadah kepadanya hanya satu yakni bacaan shalat, tak peduli bahasa ibunya apa, apakah dia mengerti atau tidak, harus satu bahasa, demikian juga membaca al-Quran, dari sejak turunnya hingga kini al-Quran adalah bahasa al-Quran yang membaca terjemahannya bukan membaca al-Quran.



2.3 Hikmah Mawaris
A. Pengertian Mawaris
Istilah Fiqh Mawaris (فقه المواريث) sama pengertiannya dengan Hukum Kewarisan dalam bahasa Indonesia, yaitu hukum yang mengatur tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Ada dua nama ilmu yang membahas pembagian harta warisan, yaitu ilmu mawaris (علم المواريث) dan ilmu fara'id (علم الفرائض). Kedua nama ini (mawaris dan fara'id) disebut dalam al-Qur'an maupun al-hadis. Sekalipun obyek pembahasan kedua ilmu ini sama, tetapi istilahnya jelas berbeda. Kataمواريث adalah jama' dari ميراث dan miras itu sendiri sebagai masdar dari ورث - يرث- ارثا - وميراثا .
Secara etimologi kata miras mempunyai beberapa arti, di antaranya: al-baqa' (البقاء) , yang kekal; al-intiqal(الانتقال) "yang berpindah", dan al-maurus (الموروث) yang maknanya at-tirkah (التركة) "harta peninggalan orang yang meninggal dunia". Ketiga kata ini (al-baqa', al-intiqal, dan at- tirkah) lebih menekankan kepada obyek dari pewarisan, yaitu harta peninggalan pewaris.
Adapun kata fara'id (الفرائض) dalam kontek kewarisan adalah bagian para ahli waris. Dengan demikian secara bahasa, apabila ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu fara'id karena yang dibahas adalah bagian para ahli waris, khususnya ahli waris yang bagiannya sudah ditentukan. Apabila dibandingkan kedua istilah di atas dalam pengertian bahasa, kata mawaris mempunyai pengertian yang lebih luas dan lebih menampung untuk menyebut ilmu yang membahas tata cara pembagian harta peninggalan orang yang meninggal dunia dibandingkan istilah fara'id.
Apabila ditelusuri pemakaian kedua istilah di atas di kalangan para ulama, tampaknya pada awalnya lebih banyak digunakan kata fara'id daripada kata mawaris. Hal ini dapat dilihat dari fiqh-fiqh klasik yang dalam salah satu babnya memakai judul bab al-faraid atau kitab al-fara'id, sebagai judul pembahasan kewarisan. Adapun pada masa belakangan menunjukkan kebalikannya, yaitu lebih banyak digunakan kata mawaris, seperti Wahbah az-Zuhaili dalam karyanya "al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu", jilid VIII dalam bab ke-6 memberi judul babnya الميراث.
Lafad al-faraid, sebagai jamak dari kafazd faridhah, oleh para ulam faradhiyun diartikan semakna dengan lafazd mafrudhah, yakni bagian yang telah dipastikan kadarnya. Faraid dalam istilah mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara. Sedang ilmu faraidh oleh sebagian ulama faradhiyun di ta’rifkan “ ilmu fiqhi yang berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peningalan untuk setiap pemilik harta pusaka”.
Menurut fiqih adalah apa yang ditinggalkan oleh orang mati berupa harta atau hak-hak yang karena kematianya itu menjadi hak ahli warisnya secara syar’i.
Ilmu faraid adalah ilmu yang mempelajari pembagian warisan dan cara penghitunganya dilihat darai kaca mata fiqih.
Istilah Fara’id adalah bahasa yang menunjukkan bentuk plural atau jamak. Adapun bentuk mufradnya adalah “Faridah” yang berarti: suatu ketentuan atau dapat pula diartikan bagian-bagian yang tertentu. Di dalam hukum waris islam dikenal dengan istilah “Ilmul Fara’id” atau disebut dengan ilmul mirats, yakni ilmu yang membahas tentang pembagian warisan dari seseorang yang meninggal dunia.
Al-Syarbiny dalam sebuah kitabnya Mughni al-Muhtaj juz 3 mengatakan bahwa: “Fiqih Mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian bagian yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.” Dalam konteks yang lebih umum, warisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Warisan di Indonesia misalnya mendefinisikan “Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”. Dengan demikian, ilmu faraidh mencakup tiga unsur penting didalamnya:
1. Pengatahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris;
2. Pengetahuan tentang bagian setiap ahli waris; dan
3. Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan dengan pembagian harta waris.
Dari pengertian mawaris secara bahasa di atas dapat dipahami bahwa ilmu yang membahas kewarisan disebut ilmu mawaris antara lain karena yang dibahasnya adalah mengenai tata cara pemindahan harta peninggalan orang yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti al-intiqal), atau karena yang dibahas oleh ilmu ini ialah harta peninggalan orang yang meninggal dunia (dari kata miras yang berarti tirkah).
B. Kedudukan dan Urgensi Mawaris
Ilmu fara’idh atau fiqih mawaris merupakan ilmu yang sangat penting. Oleh karena itu, Allah sendiri dan secara langsung mengatur bagian-bagian fara’idh ini. Dia tidak menyerahkan hal tersebut kepada malaikat atau rasul yang paling dekat sekalipun. Allah telah menjelaskan masing-masing bagian ahli waris yang seperdua, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga dan seperenam. Ini berbeda dengan hukum-hukum lainnya, seperti shalat, zakat, puasa, haji dan lain-lain yang nash-nashnya bersifat global. Allah SWT menjamin surga bagi kaum muslimin yang melaksanakan hukum waris Islam ini.
Allah SWT berfirman. “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar” [An-Nisa: 13]. Allah SWT, mengancam dengan neraka dan adzab yang pedih bagi orang-orang yang menyelisihi batasan-batasan fara’idh Islam tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukkannya kedalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan” [An-Nisa : 14], Rasulullah SAW memerintahkan agar umat Islam mempelajarai ilmu fara’idh dan mengajarkannya.
Amirul Mukminin Umar Ibnul Khaththab Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pelajarilah fara’idh, sebab ia adalah bagian dari agamamu”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata: “Pelajarilah fara’idh, nahwu dan Sunnah sebagaimana kamu mempelajari Al-Qur’an” Ibnu Abbas Ra, ketika menafsirkan ayat 73 surat Al-Anfal, dia menyatakan: “Jika kamu tidak mengambil ilmu waris yang diperintahkan oleh Allah, maka pasti akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar”.
Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu berkata : “Perumpamaan orang yang membaca Al-Qur’an tetapi tidak pandai fara’idh, adalah seperti baju burnus yang tidak memiliki kepala”. Para ulama Islam sangat peduli dan memberi perhatian yang besar terhadap ilmu ini, dengan berdiskusi, mengajarkan, merumuskan kaidah-kaidahnya, dan menuliskannya dalam literarur (kitab) fiqih. Ini semua karena, fara’idh merupakan bagian dari agama Islam, diwahyukan langsung oleh Allah, dan dijelaskan serta dipraketkkan oleh Rasulullah SAW. (Lihat Syaikh Shalih Fauzan dalam At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hlm. 13-16).
C. Dasar – Dasar Pewarisan Pada Masa Jahiliyah
Orang-orang Arab jahiliyah adalah tergolong salah satu bangsa yang gemar mengembara dan berperang. Kehidupan mereka tergantung dari hasil jarahan dan rampasan perang dari bangsa-bangsa yang telah mereka taklukkan, dan juga ada yang tergantung dari hasil memperniagakan rempah-rempah. Dalam tradisi pembagian harta pusaka yang telah diwarisi dari leluhur mereka terdapat suatu ketentuan utama bahwa anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan dilarang mempusakai harta peninggalan ahli warisnya yang telah meninggal dunia.Tradisi tersebut menganggap bahwa anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan adalah sebagai keluarga yang belum atau tidak pantas menjadi ahli waris. Sebagian dari mereka beranggapan bahwa janda perempuan dari orang yang telah meninggal merupakan wujud harta peninggalan yang dapat dipusakakan dan dipusakai kepada dan oleh ahli waris si mati .
Banyak sekali riwayat-riwayat dari para sahabat yang menceritakan hal tersebut. Ibn Abi Thalhah, misalnya mengutib suatu riwayat Ibn Abbas r.a yang menjelaskan: “Konon bila terjadi seorang laki-laki meninggal dunia dengan meninggalkan seorang perempuan (janda), kerabatnya melemparkan pakaiannya dimuka perempuan tersebut. (Atas tindakan ini) maka yang melarangnya untuk dikawini oleh orang lain. Jika perempuan tersebut cantik terus dikawininya dan juga jelek ditahannya sampai meninggal dunia untuk kemudian dipusakai harta peninggalannya.” )
Bukti bahwa tradisi mewarisi janda simati itu betul-betul terjadi pada zaman jahiliyah ialah tindakan seorang yang bernama Mihshan bin Abu Qais al-Aslat, sesaat ayahnya meninggal dunia, ia berhasrat mengawini janda ayahnya yang tidak diurus belanjanya dan tidak diberi pusaka sedikitpun dari harta peninggalan ayahnya. Atas desakan dari calon suaminya yang baru janda tersebut meminta ijin kepada Rasulullah agar diperkenankan berkawin dengan Mihsham. Disaat itu Rasulullah belum dapat memberikan jawaban secara spontan. Baru beberapa saat kemudian, setelah Allah menurunkan ayat dari surat An-Nisa’: 19
“Hai orang- orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita- wanita( janda- janda si mati) dengan cara paksaan.”
Tata aturan pembagian harta pusaka di dalam masyarakat jahiliyyah, sebelum Islam datang, didasarkan atas nasab dan kekerabatan, dan itu hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu mereka yang lelaki yang sudah dapat memenggul senjata untuk mempertahankan kehormatan keluarga, dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan. Orang-orang perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan pusaka. Bahkan orang-orang perempuan, yaitu istri ayah atau istri saudara di jadikan harta pusaka.
Kemudian, pengangkatan anak, berlaku dikalangan jahiliyah dan apabila sudah dewasa si anak angkat mempunyai hak yang sepenuh-penuhnya sebagaimana disyaratkan oleh bapak yang mengangkatnya. Dan karena itu, apabila bapak angkat ini meninggal, anak angkat mempunyai hak mewaris sepenuh-penuhnya atas harta benda bapak angkatnya.
D. Penentuan Ahli Waris
Dalam penentuan ahli waris ada sebab- sebab mempusakai yaitu ada 3 macam:
1. Adanya pertalian kerabat( qarabah)
2. Adanya janji prasetia( muhalafah)
3. Adanya pengangkatan anak( tabanny atau adopsi)
Hak pusaka belum dapat digunakan sebagaimana mestinya, selama ia tidak memiliki dua buah syarat berikut:
1. Sudah dewasa
2. Orang laki- laki
Pertalian-kerabat saja belum cukup kiranya dijadikan alasan untuk menuntut hak pusaka, selagi tidak di lengkapi dengan adanya kekuatan jasmani yang sanggup untuk membela, melindungi dan memelihara qabilah atau sekurang- kurangnya keluarga mereka. Dengan demikian para ahli waris jahiliyah dari golongan kerabat semuanya terdiri dari golongan laki- laki. Mereka itu ialah :
1. Anak laki-laki
2. Saudara laki-laki
3. Paman
4. Anak paman, Yang kesemuanya harus sudah dewasa.
Janji-prasetia itu baru terjadi dan mempunyai kekuatan hukum, bila salah seorang pihak telah mengikrarkan janji prasetianya kepada pihak lain, dengan ucapan (sumpah).
Sedangkan dalam pengangkatan anak seorang yang telah mengambil anak laki- laki orang lain untuk di pelihara dan dimasukkan didalam keluarga yang menjadi tanggungannya menjadi bapak angkat terhadap anak yang telah diadopsi dengan berstatus anak nasab. Anak angkat tersebut bila sudah dewasa dan bapak angkatnya meninggal dunia, dapat mempusakai harta peninggalan bapak angkatnya seperti anak keturunannya sendiri. Sedangkan penentuan ahli waris yaitu: dasar penentuan ahli waris pada zaman awal-awal islam masih mengunakan adat yang berlaku diantaranya:
1. Pertalian kerabat (Al-Qarabah);
2. Janji prasetia (Al-bilf wa al mu`aqadah);
3. Pengangkatan anak (Al-tabanni) atau adopsi;
4. Hijrah dari Mekah ke Madinah;
5. Ikatan persaudaraan (Al-muakhah) antara orang-orang Muhajirin (pendatang) dan orang-orang Anshor, yaitu orang-orang Madinah yang memberikan pertolongan kepada kaum muhajirin dari Mekah di Madinah.
E. Hikamah Mawaris Dalam Ajaran Islam
Hikmah mawaris antara lain :
1. Mawaris memperkuat keyakinan bahwa Allah betul-betul Maha Adil, karena adilannya Allah tidak hanya terdapat pada ciptaan-Nya, tetapi juga pada hukum-hukum yang telah diterapkan-Nya, seperti hukum waris Islam.
Prinsip-prinsip keadilan mawaris tersebut antara lain :
a. Semua ahli waris yang mempunyai hubungan darah secara langsung dengan pewaris (Ibu, Ayah, Anak laki-laki, Anak perempuan) tentu akan mendapat bagian harta warisan mereka tidak dapat terhalang oleh ahli waris lain.
b. Suami mendapat bagian harta peninggalan istrinya dan istri mendapat bagian dari harta peninggalan suaminya, walaupun antara suami dengan istri tidak ada hubungan darah, tetapi dalam kehidupan sehari-hari hubungan mereka sangat dekat dan jasanya pun antara satu terhadap lainnya tidak sedikit.
c. Anak laki-laki mendapat harta warisan dua kali lipat dari anak perempuan. Hal ini sesuai dengan prinsip keadilan bahwa kewajiban dan tanggung jawab anak laki-laki lebih besar daripada anak perempuan.
2. Hukum waris Islam memberi petunjuk kepada setiap muslim, keluarga muslim, dan masyarakat Islam, agar selalu giat melakukan usaha-usaha dakwah dan pendidikan Islam, sehingga tidak ada seorang Islam pun yang murtad.
3. Menghilangkan jurang pemisah antara kelompok kaya dan kelompok miskin serta dapat mendorong masyarakat untuk maju. Alasannya:
a. Hasil peninggalan orang-orang kaya yang meninggal dunia tetapi tidak meninggalkan ahli waris, dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
b. Muslimin yang dikaruniai Allah harta kekayaan yang melimpah, alangkah baiknya sebelum meninggal dunia berwasiat supaya 1/3 dari harta peninggalannya diserahkan kepada lembaga sosial atau lembaga pendidikan dan dakwah Islam untuk kepentingan umat.
4. Mematuhi hukum waris Islam dengan dilandasi rasa ikhlas karena Allah dan untuk memperoleh ridha Nya, tentu akan dapat menghilangkan sifat-sifat tercela yang mungkin timbul kepada para ahli waris.



2.4 Hikmah Munakahat
A.     Pengertian Perkawinan
Perkawinan dalam fiqh berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kata na-kaha dan za-wa-ja terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin yang berarti bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad.
Menurut Fiqh, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna[2]. Pernikahan itu bukan hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[3]
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan pelaksanaanya adalah merupakan ibadah.[4]
Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.



B. Hukum Perkawinan
Pada dasarnya Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu untuk menikah. Namun karena adanya beberapa kondisi yang bermacam - macam, maka hukum nikah ini dapat dibagi menjadi lima macam.
a.    Sunnah, bagi orang yang berkehendak dan baginya yang mempunyai biaya sehingga dapat memberikan nafkah kepada istrinya dan keperluan - keperluan lain yang mesti dipenuhi.
b.    Wajib, bagi orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia akan terjerumus dalam perzinaan.
c.    Makruh, bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan karena tidak mampu memberikan belanja kepada istrinya atau kemungkinan lain lemah syahwat.
d.   Haram, bagi orang yang ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti istrinya atau menyia - nyiakannya. Hukum haram ini juga terkena bagi orang yang tidak mampu memberi belanja kepada istrinya, sedang nafsunya tidak mendesak.
e.    Mubah, bagi orang - orang yang tidak terdesak oleh hal - hal yang mengharuskan segera nikah atau yang mengharamkannya.
3.      Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun perkawinan adalah sebagai berikut :
a.       Calon suami
b.      Calon istri
Syarat – syarat calon mempelai :
1)   Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain yang berkenaan dengan dirinya.
2)   Keduanya sama-sama beragama islam.
3)   Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan.
4)   Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula pihak yang akan mengawininya.
UU Perkawinan mengatur persyaratan persetujuan kedua mempelai ini dalam Pasal 6 dengan rumusan yang sama dengan fiqh. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai. KHI mengatur persetujuan kedua mempelai itu dalam Pasal 16.
5)   Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.
Batas usia dewasa untuk calon mempelai diatur dalam UU Perkawinan pada Pasal 7 dan KHI mempertegas persyaratan tersebut.
c.       Wali nikah dari mempelai perempuan
Syarat – syarat wali :
1)   Telah dewasa dan berakal sehat
2)   Laki – laki. Tidak boleh perempuan.
3)   Muslim
4)   Orang merdeka
5)   Tidak berada dalam pengampuan
6)   Berpikiran baik
7)   Adil
8)   Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah.
UU Perkawinan sama sekali tidak menyebutkan adanya wali, yang disebutkan hanyalah orang tua, itupun kedudukannya sebagai orang yang harus dimintai izinnya pada waktu melangsungkan perkawinan. Hal itu diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), (5), dan (6). KHI berkenaan dengan wali menjelaskan secara lengkap mengikuti fiqh dalam Pasal 19, 20, 21, 22, dan 23.

d.      Dua orang saksi
Syarat – syarat saksi :
1)   Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang.
2)   Kedua saksi itu adalah bergama islam.
3)   Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka.
4)   Kedua saksi itu adalah laki – laki.
5)   Kedua saksi itu bersifat adil.
6)   Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.
UU Perkawinan tidak menghadirkan saksi dalam syarat-syarat perkawinan, namun menghadirkan saksi dalam Pembatalan Perkawinan yang diatur dalam Pasal 26 ayat (1). KHI mengatur saksi dalam perkawinan mengikuti fiqh yang terdapat dalam Pasal 24, 25, dan 26.
e.       Ijab dan Qabul
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.
Syarat – syarat akad nikah :
1)   Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul.
2)   Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda.
3)   Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat.
4)   Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang.
     UU Perkawinan tidak mengatur tentang akad pernikahan, namun KHI secara jelas mengatur dalam Pasal 27, 28, dan 29.

B.     Dasar Hukum Perkawinan
1.      Menurut Fiqh Munakahat
a.       Dalil Al-Qur’an
Allah SWT berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut.[5]
Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup sayu orang.” (An - Nisa : 3).
Ayat ini memerintahkan kepada orang laki - laki yang sudah mampu untuk melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam memberikan kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain - lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan syarat - syarat tertentu. Menurut Al-Qur’an, Surat Al A’raaf  ayat 189 berbunyi : “Dialah yang menciptakan kamu dari suatu zat dan daripadanya Dia menciptakan istrinya agar Dia merasa senang.” (Al A’raaf  : 189).
Sehingga perkawinan adalah menciptakan kehidupan keluarga anatar suami istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tenteram (Sakinah), pergaulan yang saling mencintai (Mawaddah) dan saling menyantuni (Rohmah).[6]
b.      Dalil As-Sunnah
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a. dari Rasulullah yang bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa dioantara kalian memiliki kemampuan, maka nikahilah, karena itu dapat lebih baik menahan pandangan dan menjaga kehormatan. Dan siapa yang tidak memiiki kemampuan itu, hendaklah ia selalu berpuasa, sebab puasa itu merupakan kendali baginya. (H.R.Bukhari-Muslim).[7]
2.      Menurut Undang – Undang Perkawinan tahun 1974
Landasan hukum terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2)  UU Perkawinan yang rumusannya.[8]
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan – peraturan, pereundang – undangan yang berlaku.
3.      Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dasar perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dan 3 disebutkan bahwa :
Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.[9]
C.      Hikmah Perkawinan
1.      Perkawinan dapat menentramkan jiwa dan menghindarkan perbuatan maksiat.
2.      Perkawinan untuk melanjutkan keturunan
3. Bisa saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak – anak.
4.  Menimbulkan tanggung jawab dan menimbulkan sikap rajin dan sungguh – sungguh dalam mencukupi keluarga.
5.    Adanya pembagian tugas, yang satu mengurusi rumah tangga dan yang lain bekerja diluar.
6.  Menumbuhkan tali kekeluargaan dan mempererat hubungan.[10]
D.      Analisis Perbandingan
1.      Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan
Fiqh Munakahat sebagai hukum agama mendapat pengakuan resmi dari UU Perkawinan untuk mengatur hal – hal yang berkaitan dengan perkawinan. Dengan melihat Pasal 2 ayat (1)  tentang landasan hukum perkawinan itu berarti bahwa apa yang dinyatakan sah menurut fiqh munakahat juga disahkan menurut UU Perkawinan. UU Perkawinan secara prinsip dapat diterima karena tidak menyalahi ketentuan yang berlaku dalam fiqh munakahat tanpa melihat mazhab fiqh tertentu.
2.      KHI dan UU Perkawinan
KHI disusun dengan maksud untuk melengkapi UU Perkawinan dan diusahakan secara praktis mendudukkannya sebagai hukum perundang-undangan meskipun kedudukannya tidak sama dengan itu dan materinya tidak boleh bertentangan dengan UU Perkawinan untuk itu seluruh materi UU Perkawinan disalin ke dalam KHI meskipun rumusannya sedikit berbeda. Pasal-pasal KHI yang diatur diluar perundang-undangan merupakan pelengkap yang diambil dari fiqh munakahat, terutama menurut mazhab Syafi’iy.
3.      Fiqh Munakahat dan KHI
Di atas telah dijelaskan hubungan antara fiqh munakahat dengan UU Perkawinan  tentang perkawinan dengan segala kemungkinannya. dan dijelaskan pula bahwa KHI adalah UU Perkawinan yang dilengkapi dengan fiqh munakahat atau dalam arti lain bahwa fiqh munakahat adalah bagian dari KHI. Fiqh munakahat yang merupakan bagian dari KHI tidak seluruhnya sama dengan fiqh munakahat yang terdapat dalam mazhab yang dianut selama ini mazhab Syafi’iy.
2.5 Hikmah Jinayah
            Jinayah atau lengkapnya fiqih jinayah merupakan satu bagian dari bahasa fiqh. Kalau fiqih merupakan ketentuan yang berdasarkan wahyu Allah yang bersifat operasional (amaliah) yang mengatur kehidupan manusia dan hubungannya dengan Allah maka fiqih jinayat mengatur khusus pencegahan tindak kejahatan yang dilakukan manusia dan kesaksian yang dilakukan manusia sanksi hukuman yang berkenaan dengan hukuman kejahatan tersebut.
            Tujuan umum dari ketentuan yang ditetapkan Allah adalah mendatangkan kemashlahatan manusia, baik mewujudkan keuntungan dan kemanfaatan bagi manusia maupun menghindari kerusakan dan kemudharatan bagi manusia. Hal ini diperjelas oleh hadist yang menyatakan: “ Tidak boleh terjadi kerusakan terhadap manusia dan tidak boleh manusia melakukan perusakan terhadap orang lain”
            Segala bentuk tindakan perusakan terhadap oranng lain dinamakan tindakan kejahatan atau jinayah atau disebut juga jarimah. Sungguh diantara tindakan yang dilarang Allah itu ada yang diiringi ancaman hukuman terhadap pelakunya, baik ancaman itu dirasakan pelakunya di dunia maupun adzab di akhirat. Segala bentuk tindakan yang tindakan yang dilarang Allah dan ancaman pelakunya terhadap ancaman tertentu secara khusus itu disebut jinayah atau jarimah.
            Fiqih jinayah berbicara tentang bentuk-bentuk tindakan kejahatan yang dilarang Allah manusia melakukannya dan karenanya ia berdosa kepada Allah dan akibatnya dosa itu akan dirasakannya adzab Allah di akhirat . Sangsi hukuman itu di dalam fiqh disebut Uqubat, denag begitu setiap pembahasan tentang jianyat diiringi pembahasantentang uqubat dalam istilah umum dirangkum dengan hokum pidana.
            Setiap tindakan disebut jahat dan kejahatan bila merusak sendi-sendi kehidupan manusia. Ada lima hal yang selalu ada dalam kehidupan manusia yang tidak sempurna manusia tersebut bila satu diantaranya luput, yaitu: akal,agama, harta, keturunan (harga diri). Kelimanya disebut daruriyah. Manusia diperintahkan untuk melindungi kelima unsure kehidupan manusia itu. Sebaiknya manusia dilarang melakukan sesuatu yang merusak lima hal tersebut. Hal-hal apa saja yang manusia tidak boleh merusaknya pada dasarnya merujuk kelima hal tersebut.
            Adapun kejahatan yang dinyatakan Allah dan nabi-Nya dan sanksinya adalah: murtad, perzinahan, tuduhan melakukan perzinahan tanpa bukti, minum-minuman keras, maker, dan pemberontakan. Sedangakan kejahatan tidak disebutkan secara jelas  oleh Allah dan nabi-Nya diserahkan kepada ijtihat para ulama dan ditetapkan aturan danketentuannya oleh para penguasa, seperti berjudi penipuan dan lainnya.
            Allah menetapkan sanksi hukuman terhadap kejahatan adalah untuk melindungi manusia terhadap perusakan dari salah satu lima unsure pokok tersebut diatas. Allah menetapkan hukuman mati terhadap pembunuh supaya hidup manusia terjamin dari pembunuhan. Hal ini dapat dipahami dalam surat Al-baqarah ayat178 terkait dengan pelaksanaan qisash (hukuman mati balasan yang setimpal) itu kamu akan menentukan kehidupan bagi orang-orang yang berfikir mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertaqwa.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. 
            Firman Allah diatas mengandung arti bahwa melakukan qisas, walaupun keliahatannya kejam dan menakutkan, namun daya cegah dan manfaat terhadap orang untuk melakukan pembunuhan begitu ampuh, hingga pembunuhan walaupun tidak bias dihabiskan, setidaknya dapat diperkecil.
            Oleh karenaitu, akan terjamin dari pembunuhan. Itulah yang dimaksud Allah dengan kehidupan dengan aya tersebut. Sanksi atau hukuaman yang ditetapakan Allah untuk tindak kejahatan lainnya mengandung maksud tersebut diatas. Dengan demikian tujuan sangsi atau hukuman itu pada hakekatnya lebih bersifat prefektif yaitu memperkuat dan menjerakan orang untuk melakukan atau mengulangi tindakan kejahatan.
            Islam menetapkan bentuk-bentuk hukuman untuk suatu tindak kejahatan atau jinayah berdasarkan apa yang ditetapkan sendiri oleh Allah dalam wahyu-Nya dan penjelasan yang diberikan Nabi dalam hadisnya. Allah Mah Tahu dan Maha Adil. Oleh karena itu apapun dalam bentuk sanksi yang ditetapkan Allah atas suatu kejahatan berdasarkan keadilan Illahi yang bersifat universal. Sunguh adalah kewajiban umat islam untuk memahami, mematuhi, dan menjalankannya.
2.6 Hikamh Muamalat
A.  Pengertian Muamalah
Pengertian muamalah dapat dilihat dari dua segi, pertama dari segi bahasa dan kedua dari segi istilah. Menurut bahasa, muamalah berasal dari kata :  عَامَلَ-يُعَامِلُ-مُعَامَلَة     sama dengan wazan:  فَاعَلَ-يُفَاعِلُ-مُفَاعَلَة   , artinya saling bertindak, saling berbuat, dan saling mengamalkan.
Menurut istilah, pengertian muamalah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu pengertian muamalah dalam arti sempit. Definisi muamalah dalam arti luas dijelaskan oleh para ahli sebagai berikut.
1. Al Dimyati berpendapat bahwa muamalah adalah:
التحصيل الدنيوي ليكون سببا لللأخر
“Menghasilkan duniawi, supaya menjadi sebab suksesnya masalah ukhrawi”.
Meskipun bidang muamalah langsung menyangkut pergaulan hidup yang bersifat duniawi, nilai-nilai agama tidak dapat dipisahkan. Ini berarti bahwa pergaulan hidup duniawi itu akan mempunyai akibat-akibat di akhirat kelak. Nilsi-nilai agama dalam muamalah itu dicerminkan oleh adanya hukum halal dan haram yang harus selalu diperhatikan.
1.    Muhammad Yusuf Musa berpendapat bahwa muamalah adalah peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia.
2.    Muamalah adalah segala peraturan yang diciptakan Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan kehidupan.
Dari pengertian dalam arti luas di atas, kiranya dapat diketahui bahwa muamalah adalah aturan-aturan (hukum) Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial.
Sedangkan pengertian muamalah dalam arti sempit (khas), didefinisikan oleh para ulama sebagaia berikut.
1. Menurut Hudlari Byk.
اَلْمُعَامَلاَت جَمِيعِ الْعُقُوْدِ التيلل بِهَا يَتَبَادِل منَا فعهم
“Muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaatnya”.
1.    Menurut Idris Ahmad, muamalah adalah aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik.
2.    Menurut Rasyid Ridha, muamalah adalah tukar-menukar barang atau sesuatu yang bermanfaat dengan cara-cara yang telah ditentukan.
Dari pandangan di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan fiqih muamalah dalam arti sempit adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.
Muamalah adalah merujuk pada segala urusan yang berkaitan dengan harta (mal). Ia mencakupi segala jenis jual-beli, sewaan, tabarru’ seperti hibah, waqaf dan wasiat, pengguguran hak seperti pelepasan hutang, dan masih banyak yang lainnya.
Muamalah adalah tukar menukar barang, jasa atau sesuatu yang memberi manfaat dengan tata cara yang ditentukan. Adapun yang termasuk ke dalam kelompok muamalat yakni jual beli, hutang piutang, pemberian upah, serikat usaha, urunan atau patungan, dan lain-lain.
Perbedaan pengertian muamalah dalam arti sempit dengan pengertian dalam arti luas adalah dalam cakupannya. Muamalah dalam arti luas mencakup masalah waris, misalnya, padahal masalah waris dewasa ini telah diatur dalam disiplin ilmu tersendiri, yaitu dalam fiqh mawaris (tirkah), karena masalah waris telah diatur dalam disiplin ilmu tersendiri, maka dalam muamalah pengertian sempit tidak termasuk di dalamnya.
Persamaan pengertian muamalah dalam arti sempit dengan muamalah dalam arti luas ialah sama-sama mengatur hubungan manusia dengan kaitan manusia pemutaran harta.
B. Pembagian Muamalah
Menurut Ibn Abidin, fiqh muamalah terbagi menjadi lima bagian, yaitu:
a.Mu’awadlah Maliyah (Hukum Kebendaan),
b. Munakahat (Hukum Perkawinan),
c. Muhasanat (Hukum Acara),
d. Amanat dan Aryah (pinjaman),
e. Tirkah (Harta Peninggalan).
Al-Fikri dalam kitabnya,” Al-Muamalah al-Madiyahwa al-Adabiyah”, menyatakan bahwa muamalahdibagi menjadi dua bagian sebagai berikut.
1.    Al-Muamalah al-Madiyah adalah muamalah yang mengkajiobjeknya sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa muamalah al-Madiyah adalah muamalah yang bersifat kebendaan karena objekfiqh muamalah adalah benda yang halal, haram dan syubhatuntuk diperjualbelikan, benda-benda yang memudharatkan dan benda yang mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, serta segi-segi lainnya.
2.    Al-Muamlah al-Adabiyah ialah muamalah yang ditinjau dari segi tukar-menukar benda yang bersumber dari panca indera manusia, yang unsur penegaknya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban, misalnya jujur, hasud, dengki, dendam.
Muamalah madiyah yang dimaksud al-Fikri ialah aturan-aturan yang ditinjau dari segi objeknya. Oleh karena itu, jual beli benda bagi muslim bukan hanya sekedar memperoleh untung yang sebesar-besarnya, tetapi secara vertikal bertujuan untuk memperoleh ridha Allah dan secara horizontal bertujuan untuk memperoleh keuntungan sehingga benda-benda yang diperjualbelikan akan senantiasa dirujukkan kepada aturan-aturan Allah. Benda-benda yang haram diperjualbelikan menurut syara’ tidak akan diperjualbelikan, karena tujuan jual beli bukan semata-mata ingin memperoleh keuntungan, tetapi juga ridha Allah.
Muamalah al-adabiyah ialah aturan-aturan Allah yang wajib diikuti dilihat dari segi subjeknya. Muamalah al-Adabiyah ini berkisar pada keridhaan kedua belah pihak, ijab qabul, dusta, menipu, dan yang lainnya.
C. Sumber Hukum Muamalah
Sumber-sumber hukum muamalah adalah Al-Quran, sunnah Rasul dan ra’yu atau ijtihad. Al-Quran memberikan ketentuan-ketentuan hukum muamalah yang sebagian besar berbentuk kaidah-kaidah umum; kecuali itu, jumlahnya pun sangat sedikit. Misalnya, dalam Q.S. Al-Baqarah: 188 terdapat larangan makan harta dengan cara yang tidak sah, antara lain melalui suap. Dalam Q.S. An-Nisa’; 29 terdapat ketentuan bahwa perdangan atas dasar suka rela merupakan salah satu bentuk muamalah yang halal.
Al-Quran yang memberikan ketentuan-ketentuan hukum muamalah berbentuk kaidah-kaiadah umum itu dimaksudkan untuk memberi kesempatan perkembangan dalam pergaulan hidup masyarakat kemudian hari.
Sunnah Rasul memberikan ketentuan-ketentuan hukum muamalah lebih terperinci daripada Al-Quran. Apabila Al-Quran menentukan bahwa berdagang merupakan cara memperoleh rezeki yang halal, hadits-hadits Nabi memberikan keterangan perinciannnya, seperti larangan menjual (tanpa memperoleh kuasa dari pemiliknya), dilarang berjual beli buah-buahan sebelum masak (pantas dipetik) dan sebagainya.
Dalam memberikan keterangan-keterangan tentang perincian hukum muamalat itu, sunah rosul tidak mencakup seluruh aspek-aspeknya sampai kepada yang sekecil-kecilnya. Dalam sunah rosul pun banyak kita jumpai ungkapan-ungkapan yang sebenarnya masih merm pula   upakan kaidah-kaidah umum pula. Misalnya, nabi melarang benrjul beli yang mengandung unsur-unsur kesamaran atau ketidak jelasan. Misalnya, jual beli yang tidak  dapat diketahui sifat-sifatnya dengan jelas, seperti membeli buah-buahan sebelum pantas di petik, yang oleh pembelinya di biarkan di atas pohon untuk pada beberapa waktu lagi baru di petik.
Untuk memahami ketentuan-ketentuan hukum muamalah yang terdapat dalam Alquran dan sunah rosul, demikian pula untuk  memperoleh ketentuan-ketentuan hukum muamalah  yang baru  timbul sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, diperlukan pemkiran-pemikiran baru yang di sebut ijtihad. Sumber ijtihad inilah yang telah berperanan besar dalam mengem-bangkan fikih islam, terutama di bidang muamalah. Tidak berlebih-lebihan jika kita mngatakan bahwa sumber ijtihadlah yang paling banyak di pelukan di hukum muamalah.
D. Prinsip Hukum Muamalah
Hukum muamalah Islam mempunyai prinsip yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.    Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh Al-Quran dan sunnah Rasul.
2.    Muamalah dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.
3.    Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari mudharat dalam hidup masyarakat.
4.    Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan.
Secara ringkas ke empat prinsip tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Prinsip pertama mengandung arti bahwa hukum Islam memberi kesempatan luas perkembangan bentuk dan macam muamalah baru sesuai dengan perkembangan kebutuhan hidup masyarakat.
Prinsip ke dua memperingatkan agar kebebasan kehendak pihak-pihak bersangkutan selalu diperhatikan. Pelanggaran terhadap kebebasan kehendak itu berakibat tidak dapat dibenarkannya sesuatu bentuk muamalah. Misalnya, seseorang dipaksa menjual rumah kediamannya, padahal ia masih ingin memilikinyadan tidak ada hal yang mengharuskan ia menjual dengan kekuatan hukum. Jual beli yang terjadi dengan cara paksaan dipandang tidak syah.
Prinsip ke tiga memperingatkan bahwa sesuatu bentuk muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari mudharat dalam hidup masyarakat, dengan akibat bahwa segala bentuk muamlah yang merusak kehidupan masyarakat tidak dibenarkan. Mislanya, berdagang narkotika dan ganja, perjudian, dan prostitusi.
Prinsip ke empat meentukan bahwa segala bentuk muamalah yang mengundang unsur penindasan tidak dibenarkan. Misalnya, dalam hutang piutang dengan tanggyungan barang. Untuk jumlah utang yang jauh lebih kecil daripada harga barang tanggungannya diadakan ketentuan jika dalam waktu tertentu utang tidak dibayar, barang tanggungan menjadi lebur, menjadi milik yang berpiutang.
E. Objek Hukum Muamalah
Objek hukum muamalah, dalam pengertiannya yang terbatas, hanya menyangkut urusan-urusan keperdataan dalam hubungan kebendaan, dan meliputi tiga masalah pokok sebagai berikut:
1.    Hak dan pendukungannya.
2.    Benda dan milik atasnya
3.    Perikatan hukum (akad).
Pengertian Jual-Beli
Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-Bai, al-Tijarah dan al-Mubadalah, sebagaimana Allah Swt.
 “Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi”. (Fathir: 29)
Menurut istilah (terminologi) yang dimaksud dengan jual beli adalah sebagai berikut.
1.    Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.
2.    تملك عين مالية بمعاوضة باذن شرعي
   “Pemilikan harta benda dengan jalan tukar-menukar yang sesuai dengan aturan syara”.
3.    Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab dan qabul, dengan cara yang sesuai dengan syara’
4.    مقابلة مال بمال على وجه مخصوص
   Tukar-menukar benda dengan benda lain dengan cara yang khusus (dibolehkan).
5.    Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan.
6.    Aqad yang tegak atas dasar penukaran harta, maka jadilah penukaran hak milik secara tetap.
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami inti jual beli ialah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati.
Sesuai dengan ketetapan hukum maksudnya ialah memenuhi persyaratan-persyaratan, rukun-rukun, dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan jual beli sehingga bila syarat-syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan kehendak syara’.
Benda dapat mencakup pengertian barang dan uang, sedangkan sifat benda tersebut harus dapat dinilai, yakni benda-benda yang berharga dan dapat dibenarkan penggunaannya menurut syara’. Benda itu adakalanya bergerak (dipindahkan) dan adakalanya tetap (tidak  dapat dipindahkan), ada yang dapat dibagi-bagi, adakalanya tidak dapat dibagi-bagi, ada harta yang ada perumpamaannya (mistli) dan tak ada yang menyerupainya (qimi) dan yang lain-lainnya. Penggunaan harta tersebut dibolehkan sepanjang tidak dilarang syara’.
Benda-benda seperti alkohol, babi, dan barang terlarang lainnya haramn diperjualbelikan sehingga jual beli tersebut dipandang batal dan jika dijadikan harga penukar, maka jual beli tersebut dianggap fasid.
Jual beli menurut ulama Malikiyah ada dua macam, yaitu jual beli yang bersifat umum dan  jual beli yang bersifat khusus. Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar-menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kenikmatan. Perikatan adalah akad yang mengikat dua belah pihak. Tukar-menukar yaitu salah satu pihak menyerahkan ganti penukaran atas sesuatu yang ditukarkan oleh pihak lain. Dan sesuatu yang bukan manfaat ialah bahwa benda yang ditukarkan adalah dzat (berbentuk), ia berfungsi sebagai objek penjualan, jadi bukan manfaatnya atau bukan hasilnya.
Jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar-menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan bukan pula kelezatan yang mempunyai daya tarik, penukarannya bukan mas dan bukan pula perak, bendanya dapat direalisir dan ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak merupakan utang baik barang itu ada di hadapan si pembeli maupun tidak, barang yang sudah diketahui terlebih dahulu.
F. Rukun dan Syarat Jual Beli
Rukun jual beli ada tiga, yaitu akad (ijab kabul), orang-orangyang berakad (penjual dan pembeli) dan ma’kud alaih (abjek akad).
Akad ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan kabul dilakukan sebab ijab kabul menunjukkan kerelaan (keridhaan). Pada dasarnya ijab kabul dilakukan dengan lisan, tetapi kalau tidak mungkin, misalnya bisu atau yang lainnya, boleh ijab kabul dengan surat-menyurat yang mengandung arti ijab dan kabul.
Jual beli yang menjadi kebiasaan, misalnya jual beli sesuatu yang menjadi kebutuhan sehari-haritidak disyaratkan ijab dan kabul, ini adalah pendapat jumhur. Menurut fatwa Ulama Syafi’iyah, jual beli barang-barang yang kecil pun harus ijab dan kabul, tetapi menurut Imam An-Nawawi dan ulama Muta’akhirin Syafi’iyah berpendirian bahwa boleh jual beli barang-barang yang kecil dengan tidak ijab kabul seperti membeli sebungkus rokok.
G. Syarat-syarat Sah Ijab Kabul
Syarat-syarat sah ijab kabul ialah sebagai berikut.
1.    Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja setelah penjual menyatakan ijab dan sebaliknya.
2.    Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan kabul.
3.    Beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu, misalnya seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama Islam kepada pembeli yang tidak beragama Islam, sebab besar kemungkinan pembeli tersebut akan merendahkan abid yang beragama Islam, sedangkan Allah melarang orang-orang mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk merendahkan mukmin, firman-Nya:
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (An-Nisa: 141).
Masalah ijab dan kabul ini para ulama fiqh berbeda pendapat, di antaranya:
1.    Menurut ulamaSyafi’iyah ijab dan kabul ialah:
لاينعقد البيع إلا بالصفة الكلامية
“tidak sah akad jual beli kecuali dengan shigat (ijab kabul) yang diucapkan”.
2.    Imam Malik berpendapat:
إن البيع قد وقع و قد لزم بالاستفهام
“Bahwa jual beli itu telah sah dan dapat dilakukan secara dipahami saja”
3.    Pendapat ketiga ialah penyampaian akad dengan perbuatan atau disebut juga dengan aqad bi al-mu’athah yaitu: “Aqad bi al-Mu’athah ialah mengambil dan memberikan dengan tanpa perkataan (ijab dan kabul), sebagaimana seseorang membeli sesuatu yang telah diketahui harganya, kemudian ia mengambilnya dari penjual dan memberikan uangnya sebagai pembayaran.
H. Macam-macam Jual Beli
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum, dari segi objek jual beli dan segi pelaku jual beli.
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi tiga bentuk:
1.    Jual beli benda yang kelihatan
2.    Jual beli yang disebutkan sifat-sifat dalam janji, dan
3.    Jual beli benda yang tidak ada.
Selain pembelian di atas, jual beli juga ada yang dibolehkan dan ada yang dilarang jual beli yang dilarang juaga ada yang batal ada pula yang terlarang tetapi sah. Jual beli yang dilarang dan batal hukumnya adalah sebagai berikut:
1.    Barang yang hukumnya najis menurut agama, seperti anjing, babi, bangkai dll
2.    Jual beli sperma (mani) hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan betina agar dapat memperoleh keturunan.
3.    Jual beli anak binatang yang masih berada dalam perut induknya.
4.    Jual beli dengan muhaqallah. Baqalah berarti tanah, sawah, dan kebun, maksud muhaqallah di sini ialah menjual tanam-tanaman yang masih di ladang atau di sawah.
5.    Jual beli dengan mukhadharah, yaitu menjual buah-buahan yang belum pantas untuk dipanen, seperti menjual rambutan yang masih hijau.
6.    Jual beli dengan muammassah, yaitu jual beli secara sentuh menyentuh.
7.    Jual beli dengan munabadzah yaitu jual beli secara lempar-melempar, seperti seseorang berkata, “lemparkan padaku apa yang ada padamu dan sebaliknya.
8.    Jua beli dengan muzabanah, yaitu menjual buah yang basah dengan buah yang kering, seperti menjual padi kering dengan bayaran padi basah.
9.    Menentukan dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan.
10.  Jual beli dengan syarat (iwadh mahjul), jaual beli ini hampir sama dengan jual beli menentukan dua harga, hanya saja di sini di anggap sebagai syarat, seperti seseorang berkata, “aku jual rumahku yang butut ini dengan syarat kamu mau menjual mobilmu padaku”.
11.  Jual beli gharar, yaitu jual beli yang samar sehingga ada kemungkinan terjadi penipuan.
12.  Jual beli dengan mengecualikan sebagian benda yang dijual.
13.  Larangan menjual makanan hingga dua kali ditakar.
Sedangkan jual beli yang dilarang oleh agama, tetapi sah hukumnya, tetapi yang melakukannya mendapat dosa. Jual beli tersebut antara lain:
1.    Menemui orang-orang desa sebelum mereka masuk ke pasar untuk membeli benda-bendanya dengan harga yang semurah-murahnya, sebelum mereka tahu harga pasaran, kemudian ia jual dengan harga yang setinggi-tingginya.
2.    Menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain.
3.    Jual beli dengan Najasyi, ialah seseorang menambah atau melebihi harga temannya dengan maksud memancing-mancing orang itu mau membeli barang kawannya.
4.    Menjual di atas penjualan orang lain.



























\
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Sebenarnya dari uraian diatas dapat kita ketahui bahwasanya agama islam memberlakukan sebuah syari’at Karen asetiap syari;at hukumny ada hikmahnya atau manfaatnya, dimana setiap hikmah tersebut bertujuan untuk mempermudah kehidupan umat manusia di muka bumi, supaya mereka mau tolong menolong dan bantu – membantu dengan cara demikian.
            Kehidupan masyarakat menjadi teratur, pertalian yang satu dengan yang lain menjadi teguh diamping itu Allah telah menjadikan manusia masing – masing asaling membutuhkan satu sama lain.

3.2 Saran
Segala puji bagi Allah yang benar-benar mengeluarkan beberapa buah pikiran kepada yang mempunyai akal menghilangkan dari langitnya akal, akan setiap penutup dari mendungnya kebodohan, sehingga jelas bagi setiap yang mempunyai akal beberapa matahari pengetahuan. Alhamdullilah kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “Hikmah – Hikamah Syari’ah” sebagai tugas yang diberikan oleh Dosen mata kuliah materai Hikamatut Tasyri’. Kami mengucapkan ribuah terima kasih kepada semua pihak yang membantu pembuatan makalah ini terutama kepada, Dosen pembimbing kami Bapak Maduki M.Pdi, ke dua orang tua, sahabat-sahabat seperjuangan, dan masih banyak lagi yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.
Meskipun demikian, karena tak ada gading yang tak retak, tegur sapa dari pembaca yang sifatnya membangun akan selalu penulis terima dengan ikhlas. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan khususnya bagi penulis, amin, Yaa Robbal Alamien.






[1] Syahih kamil Muhammad,U’waidah, Fiqih Wanita, ( Al-Kautsar, 2011) Hal, 1
[2] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, ( Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2010), hlm. 374
[3] Mohd. Idris Ramulyo,S.H, M.H, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan Zakat menurut Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), Hlm. 43
[4] Ibid, Mohd. Idris Ramulyo,S.H, M.H, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), Hlm. 4
[5] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang – Undang Perkawinan, (Jakarta : Kencana, 2009), hlm. 35
[6]  Moh. Idris ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 3-4
[7] Syekh Muhammad Sholeh Al-Utsaiin, Syekh Abdul Aziz Ibn Muhammad Dawud, Pernikahan Islami : Dasar Hidup Beruah Tangga, (Surabaya : Risalah Gusti 1991), hlm. 29
[8] Ibid, Moh. Idris ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 50
[9] Dikuti dari  http://hukum.unsrat.ac.id/ma/kompilasi.pdf diakses tanggal 10 maret 2012
[10] Drs. Slamet Abidin, Drs. H. Aminudin : Fiqh Munakahat I, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), Hlm.